Jumat, 15 Agustus 2003

Pencarian Makna Kiri Tengah

Budiman Sudjatmiko
Pencarian Makna Kiri Tengah

Budiman Sudjatmiko (Dok. GATRA/Dimas Ardian)SECARA fisik, Budiman Sudjatmiko tidak berubah. Ia tetap kurus, berwajah tirus. Penampilan pria berkacamata ini masih tetap sederhana. Budiman, 33 tahun, tak lagi terlibat ingar-bingar politik di Indonesia. Memang, sejak dua tahun silam, ia ''pensiun'' sebagai Ketua Umum Partai Rakyat Demokratik (PRD).

Sudah setahun lebih Budiman belajar di School of Oriental and African Studies, Universitas London, Inggris. Tapi, ia mengaku tak pernah absen memantau perkembangan politik di Indonesia. Kala bertemu dengan wartawan GATRA, di sebuah kafe pinggiran kota London, medio Juni lalu, ia lebih senang ngobrol soal politik. ''Saya lagi membangun jaringan politik di sini,'' katanya.

Selain kuliah, Budiman mengisi waktu luangnya dengan menonton film, musik, dan drama. Ia sempat bergabung dengan para demonstran menentang serangan koalisi Amerika Serikat-Inggris terhadap Irak. Tentu, aksi ini tak bisa disamakan dengan aktivitasnya saat menggalang gerakan massa pada awal 1990-an di Indonesia.

Budiman lahir di Desa Pahonjean, Majenang, Cilacap, Jawa Tengah. Masa kecilnya dihabiskan di desa ini. Baru pada usia tujuh tahun ia pindah ke Bogor, Jawa Barat, mengikuti orangtuanya. Sebelumnya, ia dibesarkan kakek dan pamannya. Budiman yang akrab dipanggil ''Iko'' ini terbilang kutu buku. Sejak SMP, ia akrab dengan pemikiran Bung Karno. Inilah fase awal kesadaran politiknya terbangun.

Selepas SMA, Budiman melanjutkan ke Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Ia pun makin hanyut dengan berbagai aktivitas di kampus. Ia sering bolos kuliah hanya untuk berdiskusi seputar teori gerakan mahasiswa, petani, dan buruh. Ia juga penggerak massa. Antara lain, menggalang aksi penggusuran tanah di Kedungombo.

Aktivitas itu, apa boleh buat, membuat kuliahnya keteter. Cuma bertahan dua semester. ''Ini konsekuensi pencarian makna hidup,'' kata Budiman. Namun, ia tak pernah berhenti menggerakkan kekuatan rakyat. Misalnya, pada 1994, didirikanlah Persatuan Rakyat Demokratik (PRD). Budiman duduk sebagai ketua seksi acara.

Ternyata, perjalanan PRD --kala itu dipimpin Sugeng Bahagijo-- dianggapnya melenceng dari garis organisasi. Maka, untuk menyelamatkan PRD, Budiman membentuk komite penyelamat organisasi. Dua tahun kemudian, ia mendeklarasikan Partai Rakyat Demokratik di Jakarta.

Manifesto PRD Budiman itu, antara lain, berisi tuntutan pencabutan dwifungsi ABRI, Undang-Undang Subversif, serta mendesak MPR untuk melakukan sidang istimewa menuntut pertanggungjawaban Presiden Soeharto. Hampir tiada hari yang tak dilewatkan PRD untuk melawan pemerintah.

Gebrakan itu dibayar mahal. Pemerintah memberangus PRD. Bahkan, kala peristiwa 27 Juli 1996 meledak, Budiman dituding sebagai dalang. Kerusuhan ini sendiri berawal dari keberhasilan Megawati Soekarnoputri menduduki Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia (PDI), menggusur kepemimpinan Soerjadi yang didukung pemerintah.

Pagi itu, 27 Juli 1996, kantor pusat PDI di Jalan Diponegoro, Jakarta, diserbu massa pendukung Soerjadi. Tiga orang tewas dan ratusan orang luka-luka. Budiman dan para pengurus PRD lain buron. Ia dituding menghasut rakyat, memusuhi pemerintah. Malah, PRD disamakan dengan Partai Komunis Indonesia yang terlarang.

Akhirnya, Budiman dan para aktivis lain ditangkap. Budiman divonis 13 tahun penjara. Hukuman itu hanya dijalaninya tiga tahun, setelah mendapat remisi --menyusul tumbangnya Presiden Soeharto. Setelah bebas, Budiman kembali menggerakkan PRD, menuntut sisa-sisa Orde Baru agar dibersihkan, serta mengadili dan membubarkan Golkar.

Langkah lain Budiman adalah berusaha membangun aliansi politik dengan Presiden Abdurrahman Wahid. Tapi, manuver ini tak lama. Tahu-tahu terbetik berita, Budiman mundur dari gelanggang politik. Ia tak mau menjadi figur sentral, dan ingin melanjutkan sekolah. Menariknya pula, ia tak lagi garang dan kompromistis. Inilah politik yang disebut Budiman sebagai ''kiri tengah''.

Kholis Bahtiar Bakri dan Asmayani Kusrini
[Edisi Khusus, GATRA, No 40 Beredar Jumat 15 Agustus 2003]

Tidak ada komentar: