Selasa, 29 Juli 2008

Tentang Blog Ini

Blog ini sekalipun memakai nama Budiman Sudjatmiko namun sebenarnya bukan miliknya. Blog ini saya buat atas inisiatif pribadi yang didukung teman-teman saya di lingkungan kerja di Bandung untuk mengapresiasi salah seorang putra terbaik banga Indonesia bernama Budiman Sudjatmiko. Saya membuat blog ini di dasarkan oleh rasa cinta dan hormat terhadap idola saya Mas Budiman Sudjatmiko. Ia seorang pejuang yang terus menginspirasikan saya untuk hidup lebih berani dan lebih berarti. Dengan model kesederhanaan, terus terang dan berani sebagaimana wataknya Mas Budiman, saya mengajak rekan-rekan muda, remaja dan siapapun untuk memberikan masukan-masukan berharga kepada Mas Budiman. Kelak kalau sudah banyak kritik, saran, masukan, pujian maupun cacian yang masuk, saya berjanji akan berusaha menemui Mas Budiman dan menyampaikan semua yang saya terima; apa adanya supaya menjadi sesuatu yang baik bagi dirinya. Kita menginginkan pemimpin yang baik dan selalu menjaga diri dari sifat-sifat keburukan duniawi. Karena itulah saya berpikir bahwa seorang pemimpin mestinya mendapat banyak masukan dari bawah. Dengan begitu ia akan terus menjalankan kebaikan kepada bangsanya. Mari mengapresiasi seorang Calon Pemimpin Bangsa ini melalui blog ini. Berbicaralah terbuka. Tuliskan apa yang Anda pikirkan. Sampaikan kepada Budiman Sudjatmiko. Beliau pasti senang mendengar masukan, sekalipun itu pahit adanya. Pernah suatu ketika dalam sebuah Seminar Mas Budiman berkata dengan fasih, "kulli al-haq walau kanna murran" (katakan yang hak sekalipun itu pahit adanya).

Jika Anda ingin memberikan tanggapan pada salahsatu tulisan di dalam blog ini anda bisa langsung memasukkan tanggapan melalui ruang yang telah disediakan blogspot. namun jika Anda inginkan sebuah tulisan apresiatif, anda bisa mengirimkan melalui email saya, infobudiman@gmail.com. Saya akan memuatnya di blog ini.

salam hormat
Adnan Fais
dkk

Minggu, 27 Juli 2008

Budiman Sudjatmiko Caleg DPR-RI dari Jateng 8

27/07/2008 22:44 wib - Daerah Aktual
Budiman Sudjatmiko Caleg DPR PDI-P dari Jateng

Semarang, Suara Merdeka/CyberNews. Mantan aktifis politik Budiman Sudjatmiko diusulkan menjadi calon legislatif DPR RI dari PDI-P dengan daerah pemilihan Jateng. Ketua DPD PDI-P Jateng Murdoko menyatakan, ada 40 tokoh yang diusulkan DPC untuk caleg DPR RI, diantaranya Puan Maharani, Tjahjo Kumolo, Mangara Siahaan, Daniel Budi Setiawan, Daryanto dan Sony Keraf.

''Tim verifikasi DPD dan DPC PDI-P se-Jateng sekarang ini sedang melakukan verifikasi terhadap nama-nama yang akan diajukan partai sebagai caleg pada Pemilu 2009. Nama yang diajukan merupakan usulan struktur dari bawah,'' Murdoko SH, Minggu (27/7).

Untuk memastikan seseorang akan duduk sebagai caleg atau tersingkir, kata dia, akan dilakukan pembahasan dalam Rapimnas DPP PDI-P pada 1 Agustus mendatang di Kantor DPP PDIP, Lenteng Agung. Disamping 40 nama untuk DPR RI, ada 250 nama yang diusulkan pengurus cabang PDI-P se-Jateng sebagai caleg DPRD Jateng. Rencananya, 250 nama itu akan diciutkan menjadi 120 nama, yang nantinya akan didaftarkan ke KPU Jateng sebagai caleg PDI-P.

Menurut dia, proses pencalegkan melalui partainya sangat ketat. Hanya calon yang dinilai mampu memperjuangkan aspirasi rakyat akan dipilih. Ketua Bappilu DPD PDIP Jateng Suryo Sumpeno menambahkan, seleksi caleg di partainya dilaksanakan secara ketat, dengan harapan diperoleh wakil rakyat yang berkualitas.

Verifikasi

Tim verifikasi tingkat Jateng, jelas Murdoko, melakukan verifikasi terhadap bakal caleg untuk DPRD Jateng, sementara tim verifikasi DPC melakukan verifikasi untuk bakal caleg DPRD kabupaten/kota. Khusus bagi caleg DPR-RI yang melakukan verifikasi adalah tim verifikasi DPP.

"Pascarapimnas, nama-nama bakal caleg akan dikembalikan ke DPD Jateng untuk disusun nomor urut. Proses itu diperkirakan memakan waktu satu minggu. Setelah selesai, daftar nama itu akan langsung didaftarkan ke KPU,'' imbuh Ketua DPRD Jateng itu.

Tim verifikasi tingkat Jateng terdiri dari 9 orang, sebanyak lima orang berasal dari DPD PDI-P, yakni Nunik Sriyuningsih, Suryo Sumpeno, KH Wahyudi Masud, Alwin, dan Hendi Hendrar Prihadi, sedangkan empat orang berasal dari DPC PDI-P, diantaranya Eko (DPC Kota Semarang), Bondan Marutoni (DPC Kabupaten Semarang), Nolbi Momonga (DPC Salatiga) dan Gunawan (DPC Kendal).

(Widodo Prasetyo /CN05)

Minggu, 13 Juli 2008

Budiman Sudjatmiko tentang Baitul Muslimin


Budiman Sudjatmiko tentang Baitul Muslimin
Jawa Pos, Jumat, 02 Feb 2007,

Tak Ubah Prinsip PDI Perjuangan

Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) sedang membentuk Baitul Muslimin Indonesia (BMI). Seperti apa wujudnya dan apakah itu hanya taktik tebar pesona untuk merangkul kalangan Islam dalam dunia politik? Berikut perbicangan Kajian Islam Utan Kayu (KIUK) dengan Budiman Sudjatmiko, salah seorang fungsionaris PDIP, Kamis (26/1) lalu.



Sejak kapan PDIP punya gagasan membentuk Baitul Muslimin Indonesia?

Ketika terawih bersama di Kebagusan, Ramadan kemarin, dengan beberapa tokoh Islam di kediaman Ibu Megawati Soekarnoputri. Di situ ada Pak Din Syamsuddin dari kalangan Islam (unsur Muhamadiyah) dan PDIP sendiri. Saat itulah, hadir gagasan sederhana: kita punya problem yang harus segera dipecahkan dalam hubungan antara kaum nasionalis dan Islam. Ini bukan fenomena akhir-akhir ini saja, tapi telah ada sejak awal abad ke-20. Itu yang telah ditunjukkan oleh Bung Karno.


Adakah contohnya di masa lalu?

Dalam artikelnya yang dimuat buku Di Bawah Bendera Revolusi, nasionalime, Islamisme, dan Marxisme sudah diangkatnya sebagai tiga komponen objektif pendukung proyek kebangsaan Indonesia. Saat itu Bung Karno masih berusia 25 tahun. Tapi, dalam perjalanan sejarah, kita tahu ada up and down atau pasang-surut hubungan.

Ketika masa reformasi, problem itu tampak belum sepenuhnya tuntas. Nah, dari situ muncul pemikiran, kenapa di alam keterbukaan ini tidak ada dialog antara dua entitas yang masih tersisa (nasionalis dan Islam) itu?


Almarhum Nurcholish Madjid sering menyebut tidak adanya benturan antara cita-cita Islam dan nasionalisme Indonesia. Bagaimana pandangan kaum nasionalis sekarang terhadap kaum Islamis?

Dalam realitas politik, apa yang disampaikan almarhum Cak Nur adalah pernyataan yang normatif. Dalam kenyataan politik, konflik, benturan, juga kerja sama pernah kita lewati bersama-sama.

Pertanyaannya bagaimana kaum nasionalis melihat kelompok Islamis? Saya tidak bisa mewakili semua kalangan nasionalis. Ini karena kita secara politik tidak bisa melihat nasionalis maupun kaum Islamis sebagai entitas yang tunggal. Dari segi politik, banyak pernik-perniknya. Wacana khilafah juga ada di kalangan Islamis.

Karena itu, sebenarnya kalau orang bicara tentang Islam Indonesia, mereka sedang bicara soal Islam modernis dan tradisionalis yang diwakili Muhamadiyah dan NU. Tapi, itu biasanya klasifikasi terhadap pemahaman atas doktrin keagamaan.

Dalam politik, yang penting dilihat bukan soal modernis atau tradisionalisnya, tapi apakah kelompok Islamis itu telah menjadi bagian dari proyek kebangsaan yang telah dibangun puluhan tahun ini atau tidak?


Ada yang dianggap tak ikut proyek kebangsaan?

Kita bisa juga bicara soal kelompok Islamis yang sebenarnya baru muncul belakangan dan dalam riwayatnya tak pernah terlibat dalam politik kebangsaan yang dibangun sejak zaman kolonialisme. Kami melihat, Muhamadiyah dan NU adalah dua organisasi Islam yang mewakili kelompok Islam kebangsaan.

Karena itu, kaum nasionalis melihat baik Muhamadiyah maupun NU adalah representasi kelompok Islam yang sudah terlibat dalam proyek kebangsaan kita.


Apakah karena itu PDIP mengundang pimpinan NU dan Muhammadiyah?

Ya. PDIP melakukan dialog dengan mereka ketika hendak membentuk Baitul Muslimin Indonesia dengan mengundang figur-figur seperti Pak Din Syamsuddin dan bersilaturahmi dengan KH Hasyim Muzadi. Itu bukan karena secara kuantitatif kelompok mereka besar, tapi karena secara ide mereka lebih dekat dengan gagasan kaum nasionalis.

Mereka adalah home-ground muslim, muslim yang tumbuh di tanah sendiri. Mereka tahu suka-duka menjadi bangsa Indonesia yang pernah terjajah, merdeka, dan pernah menjadi bagian dari bangsa yang direpresi kelompok otoritarian. Mereka mengalami apa yang juga dialami kaum nasionalis.

Sementara, akhir-akhir ini, kita melihat munculnya kecenderungan kaum Islamis yang di mata kaum nasionalis, gagasan mereka lebih kosmopolit. Bagi kita, gagasan mereka belum tentu bisa tune-in dengan proyek kebangsaan yang sudah dibangun dengan darah dan air mata ini.

Jangan-jangan mimpi-mimpi sosial mereka juga berbeda. Sementara itu, kita telah tahu mimpinya orang Muhamadiyah dan NU, sebagaimana mereka tahu mimpinya orang nasionalis.

Sementara, orang-orang yang coming from nowhere -katakanlah demikian- tetap membawa gagasan yang menurut kita bersifat kosmopolit, tidak mengakar. Pandangan kelompok terakhir ini banyak juga yang masuk ke institusi-institusi yang memproduksi pengetahuan, opini. Mereka secara masif memproduksi peraturan-peraturan, perundang-undangan, di legislatif maupun eksekutif tingkat lokal.


Artinya, di antara mereka dan PDIP, ada jarak?

Ya. Menurut kami, itu semua berada di luar mimpi-mimpi kebangsaan yang sudah dan sekarang masih kita bangun. Karena itu, posisi PDIP terhadap mereka sangat jelas. Di banyak kasus, seperti dalam perda syariat dan RUU APP, kita tolak itu. Saya bisa katakan belum pernah ada bukti PDIP menyetujui syariat Islam. Tidak tahu kalau partai nasionalis lainnya.

Karena itu, kita harus bertanya: agenda mereka apa? Kita perlu berdialog dengan kelompok Islamis-kebangsaan untuk pertama-tama mengikat mereka dalam cita-cita dan sejarah kebangsaan kita.


Apa ciri-ciri home-ground muslim yang Anda sebut tadi? Sebab, banyak yang mengatakan PDIP sebagai sayap nasionalis telah melakukan miskalkulasi dengan merangkul sayap Islamis.

Dengan pertanyaan tersebut, Anda kira-kira mau mengatakan PDIP sedang melakukan tebar pesona?! He-he. Ciri-ciri home-gruond muslim bagi kami: dalam berdakwah, mereka biasanya cukup sensitif dan peka terhadap aspek budaya dengan derajat berbeda-beda.

Mereka tidak risih menggunakan instrumen-instrumen kebudayaan dalam dakwah. Itu pertama. Kedua, meski cara pandang mereka universal, tapi dalam isu-isu ketatanegaraan, mereka secara eksplisit sepakat dengan Pancasila, NKRI, dan menerima kebhinekaan. Sekali lagi, dengan derajat yang berbeda-beda.

Ketiga, dalam politik, mereka cenderung hati-hati. Mereka cenderung tidak memasukkan gagasan agama secara langsung dalam dunia politik, tapi lebih mengutamakan values atau nilai-nilainya.

Keempat, meski mereka juga menjaga baik hubugan dengan kelompok radikal, tetapi dalam isu yang menyangkut itu, mereka cukup tegas. Sementara itu, kelompok yang kosmopolit lebih eksplisit mengutarakan dan memperjuangkan gagasan keagamaan mereka. Dalam gagasan ketatanegaraan, mereka lebih "berani melakukan terobosan" seperti mengusulkan gagasan Khilafah Islamiah.


Kalau konsisten dengan nasionalismenya, PDIP tak perlu merangkul-rangkul kelompok agama tertentu. Tanggapan Anda?

Di PDIP, tradisi nasionalismenya adalah nasionalisme kerakyatan, bukan nasionalisme an sich. Kita tahu, rakyat Indonesia punya ekspresi kebudayaan dan keagamaan yang beragam.

Kita juga sadar, PDIP adalah kelanjutan dari partai-partai yang berfusi pada 1973. Kita tahu, komposisi partai tesebut kebanyakan dari sayap nasionalis: PNI, kiri Murba, Partai Kristen Indonesia, dan Partai Katolik. Jadi, sejak awal, PDI sudah berangkulan dengan kelompok-kelompok agama.

Jadi, alangkah naif dan tidak fair jika PDIP tidak merangkul kelompok keagamaan yang mayoritas secara kuantitas dan tidak kurang peran mereka dalam politik kebangsaan. Salah urus dalam soal ini akan berbahaya.


Kalau sejak 1973 PDI sudah akrab dengan agama, mengapa PDIP kini tetap tercitra sebagai partai sekuler?

Pertama, karena kelompok agama yang difusikan ke PDI waktu itu adalah kelompok minoritas. Satu-satunya (ideologi) alternatif yang dapat menyelamatkan kalangan minoritas adalah sekularisme. Tapi, PDI tidak mungkin mendesakkan hukum gereja dalam perjuangannya.

Artinya, sekularisme adalah jaminan untuk hidup bersama tanpa meninggalkan values atau nilai-nilai keagamaan. Itu sudah terkandung dalam tubuh PDI. Fakta sejarah menunjukkan bahwa kaum nasionalis sudah berfusi dengan kaum Protestan dan Katolik.

Kini, mengapa PDIP tidak juga berinteraksi dengan kaum Islam? Jika tidak segera ada terobosan atau kompromi sejarah, kita khawatir kelompok-kelompok Islam kebangsaan merasa dicampakkan atau tidak diikutsertakan. Padahal, mereka juga merasa punya visi itu.


Kalau demikian, agama jangan mencampuri wilayah politik?

Ya. Saya sepakat dengan itu. Agama harus hati-hati untuk mencampuri wilayah politik. Tapi, kalau kita berbicara soal Baitul Muslimin, faktanya sederhana saja. Orang kadang-kadang tak bisa memisahkan kenyataan bahwa dia seorang yang beragama dengan aktivitasnya di dunia politik. Bias itu selalu ada.

Nah, bias yang ada itu adalah realitas yang harus ditangani secara bijak dan cerdas. PDIP ingin melakukan itu. Kaum nasionalis dengan ini ingin mengulurkan tangan; ayo, sama-sama kita jaga bangsa ini, kebhinekaan ini.


PDIP merasa terganggu juga dengan citra dirinya sebagai partai nasionalis-sekuler, ya?

Jangan diasumsikan PDIP itu partainya orang-orang agnostik atau ateis. Oke, keberagamaan orang-orang PDIP mungkin tak setaat orang Bulan Bintang atau PKS. Tapi, jelas orang-orang di PDIP beragama.

Hanya, selama ini kita berpolitik tanpa menggunakan jubah atau baju agama. Itu jelas. Sejak pembentukan PDI pada 1973, kita tak pernah bicara soal simbol-simbol agama tertentu di dalam partai.

Artinya, adanya Baitul Muslimin pun tidak akan membuat kita mengganti prinsip. Kita justru ingin memperkaya substansi nasionalisme dan demokrasi kita.(novriantoni)

Sabtu, 12 Juli 2008

Menggali jejak kebangkitan

Menggali Jejak Kebangkitan

May 27, 2008 ·

Bagaimanakah kita harus memaknai seratus tahun kebangkitan nasional? Rasa-rasanya, bagi kebanyakan orang saat ini, sebuah perayaan sebagai bentuk parade sukacita bukanlah pilihan. Tentu tak mungkin menabuh gendang dan menari di kala rakyat masih dibelenggu oleh ancaman kesulitan hidup yang semakin menyesakkan hari demi hari.

Mungkin sebuah perenungan akan lebih tepat. Perenungan untuk mencari di manakah hilangnya jejak-jejak kebangkitan akan lebih bermakna justru di tengah semakin sirnanya asa akibat perhelatan tekanan kehidupan karena tersanderanya republik.

Seratus tahun lalu, mahasiswa-mahasiswa sekolah kedokteran STOVIA menemukan momentum kebangkitan di tengah impitan penindasan kolonialisme. Kita pun kini mencoba mengikuti jejak mereka mencari momentum yang sama di tengah pengisapan neoliberalisme. Namun, di manakah kita harus mulai?

Kerja kolektif

Marilah kita mulai, seperti mereka dulu, dengan menumbuhkan kesadaran akan realitas ketertindasan dan ketertinggalan. Inilah saat ketika pilihan-pilihan tersandera akibat hilangnya peran negara sebagai badan publik, yang ironisnya dibentuk secara sadar untuk melindungi kepentingan masyarakat. Ungkapan “tiada pilihan yang tersisa selain memotong subsidi” adalah contoh nyata sirnanya tanggung jawab sosial negara sekaligus pengabaian atas alasan adanya negara.

Kesadaran akan ketertindasan dan ketertinggalan bukanlah perkara mudah. Seabad yang lalu, para aktivis pergerakan harus mengunjungi daerah demi daerah untuk menyadarkan rakyat akan ketertindasan mereka. Kesadaran itu terkubur di tengah tuntutan pragmatisme hidup dan janji-janji manis elite kolonial dengan kampanye politik etis. Kini kesadaran pun mungkin terbenam di antara tekanan untuk bertahan hidup dan politik tebar pesona yang meninabobokan rakyat.

Sejarah kita sendiri kerap menunjukkan bahwa di tengah situasi fatamorgana itu, mobilisasi gagasan dan mobilisasi sumber daya manusia menjadi penting. Mobilisasi melalui pengorganisasian politik massa-rakyat yang dapat membuat tiap individu yang sadar menjadi pelaku-pelaku perubahan. Mata mereka yang tertindas harus dibuka, sehingga mereka sadar bahwa perubahan tidak datang dari langit. Perubahan tidak datang dari seorang satria piningit. Perubahan datang dari tiap orang biasa yang sadar bahwa mereka harus berubah, melakukan perubahan, dan menjamin masa depan untuk kehidupan yang lebih baik untuk semua. Perubahan adalah buah kerja keras panjang yang tanpa kenal lelah dan tetap bekerja untuk mengakhiri suatu bangunan struktur yang membuat mereka tertindas/tertingga l.

Tidak hanya sampai di situ. Perubahan adalah juga kerja bersama, seperti seratus tahun lalu, bukan kesadaran dan kerja individu yang melahirkan kebangkitan nasional. Kolektivitas adalah apa yang membedakan pergerakan kemerdekaan sebelum dan sesudah 20 Mei 1908.

Perasaan ketertindasan/ ketertinggalan sebagai satu entitas bangsa menjadi faktor pembeda dari upaya-upaya perjuangan para pangeran, raja, dan ulama yang pernah mengangkat senjata melawan kolonialisme. Kesadaran kolektivitas para mahasiswa STOVIA-lah yang 20 tahun kemudian melahirkan tonggak sejarah baru dalam kongres pemuda yang melahirkan Sumpah Pemuda. Melalui sumpah itulah kebangkitan nasional melahirkan suatu entitas politik-kebangsaan baru, yaitu Indonesia.

Jejak kerja bersama itu yang mungkin harus kita cari saat ini di tengah politik liberalisme (di tengah kurangnya kadar kesadaran menjadi demokrat) yang membuat semangat kekelompokan berdominasi. Memang, hampir mustahil menghapuskan kepentingan pribadi dan kelompok ketika ia memang secara sah diharuskan berkontestasi. Namun, ketika ia menjadi panglima, tujuan bersama pun menjadi sisa-sisa.

Kebangkitan sebagai spirit

Kebangkitan itu sebagian besarnya adalah soal spirit. Spirit letaknya ada dalam imajinasi pikiran dan kegelisahan yang mengusik hati sanubari massa. Imajinasi yang sedemikian rupa sehingga menginspirasi orang secara massif. Barulah imajinasi massif itu mewujud dalam tindakan sosial.

Harapan pada suatu zaman kebangkitan yang mampu membebaskan bangsa dari kolonialisme adalah spirit yang menyebar hingga ke dalam bentuk gosip-gosip di kalangan masyarakat. Ia menjadi discourse sosial. Discourse yang meluas ke tingkat massa menyebabkan massa gelisah, bak api dalam sekam yang mencari jawaban atas hari ini dan hari depannya.

Discourse yang bergerak di tingkat masyarakat di era kolonial itu suatu kali memiliki momentum meletup tanpa terkendali, dikatalisasi oleh tekanan sosial dan ekonomi yang luar biasa serta berita kebangkitan negara Timur lainnya. Potensi letupan-letupan kecilnya dapat kita lihat dalam berbagai bentuk, mulai selebaran-selebaran di tingkat massa hingga bentrokan-bentrokan fisik dengan aparat kolonial. Perlawanan diam-diam dan terbuka ke bentuk yang paling konfliktual secara terbuka sesungguhnya hanyalah wajah permukaan. Ada yang jauh mengendap di dalam hati massa itu, yaitu kebangkitan kemerdekaan bangsa.

Pada masa itu, suasana spirit sosial itu sebenarnya hanya menunggu suatu keberanian untuk memimpin proses perubahannya. Hanya tinggal menunggu pemimpin yang punya keberanian memimpin perubahan untuk berangkat melalui imajinasi sosial rakyat. Dari sana lalu memuarakan letusan-letusan sosial itu menjadi sebuah tindakan yang, karena massif diikuti oleh massa rakyat yang gelisah terhadap perubahan menentang kolonialisme, bermetamorfosis menjadi gerakan sosial politik yang dahsyat pada masa-masa berikutnya. Itulah riwayat bagaimana bangsa ini akhirnya meraih kemerdekaan untuk dirinya.

Pertanyaannya, refleksi bagi kita kini adalah mampukah kita menangkap gejala-gejala spirit perubahan di tingkat rakyat itu, kini dan di sini? Kemudian mampukah kita menangkap imajinasi sosial dan mengkristalisasikan nya? Kristalisasi adalah bentuk olahan terhadap imajinasi sosial itu. Kemudian menyebarkannya ulang ke dalam suatu cita-cita yang bisa diterima dan dibenarkan oleh rakyat. Jika kita bisa menangkap imajinasi sosial rakyat itu, kini tugas kita menjadi lebih jelas: memimpin cita-cita perubahan rakyat dalam rangka kebangkitan nasional selanjutnya.

Spirit yang mencari pemimpin

Proses ini mungkin dapat disebut sebagai suatu discourse sosial. Suatu proses komunikasi teks tuturan rakyat, dengan segala model bentuknya, yang ditangkap oleh aktivis gerakan sosial, diolah, dan dinyatakan kembali kepada massa rakyat. Ini seperti peristiwa rekontekstualisasi yang kompleks. Melibatkan rakyat beserta teks sosialnya, diterima oleh aktivis sosial dan diberikan bentuk konteks baru, kemudian disampaikan dalam bentuk teks progresif yang menginspirasi khalayak rakyat secara massif. Tak bisa dibantah bahwa ini merupakan suatu proses discourse yang kompleks.

Namun, jika kita mampu dengan tepat memposisikan diri di arena komunikasi sosial itu, kita mampu bukan hanya menyelami imajinasi sosial rakyat, melainkan juga maju selangkah lagi dengan memimpin imajinasi rakyat ke dalam bentuk tindakan perubahan yang luar biasa. Syaratnya sederhana saja. Sebagaimana pada awal-awal kebangkitan, hampir semua pemimpin kebangkitan nasional hidup bersama rakyat, sangat dekat dengan kehidupan keseharian rakyat, sehingga bahasa rakyat hampir tak berjarak dengannya. Pesan sosial rakyat bisa diterima dengan sangat baik oleh mereka.

Pertanyaan reflektif kepada kita adalah sedekat mana jarak kedekatan komunikasi sehari-hari kita dengan rakyat. Sedekat apa kita bisa memahami pesan massa rakyat. Jadi, menurut saya, konteks kebangkitan baru ini hanya perlu disederhanakan saja, sebagai sebuah teks baru, sedangkan mekanisme prosesual pemberian maknanya hanya perlu direfleksikan dari pengertian pada proses yang sama pada awal kebangkitan pertama 1908.

Sejarah kembali mengetuk pintu rumah kita, hanya mereka yang berjiwa pemimpin akan punya cukup keberanian untuk membukakan pintunya: bersiap menerima kenyataan sejarah apa pun yang akan datang. Itulah yang dilakukan oleh dr Soetomo, dr Wahidin Soedirohoesodo, dan kawan-kawan pada 100 tahun yang lampau.

Budiman Sudjatmiko, Ketua Umum Relawan Perjuangan Demokrasi-PDI Perjuangan

Budiman dalam Wikipedia

Budiman Sudjatmiko

From Wikipedia, the free encyclopedia


Budiman Sudjatmiko (born in Cilacap, Indonesia 10 March 1970) is an Indonesian activist and politician.

[edit] Biography

He is the son of Wartono (father) and Sri Sulastri (mother). When he was just a high school student, he began to create discussion forum on politics, which is an unpopular move during Soeharto dictatorial regime.[citation needed] He pursued Economics at Gadjah Mada University where he immersed himself with leftist student movements and started to organize peasants movements in Java. Inspired by revolutionary movement, he dropped out of college to focus in leftist movement, and became a chairman of People's Democratic Association (Perhimpunan Rakyat Demokratik). In July 1996, he founded the People's Democratic Party and led street demonstration in Jakarta.[citation needed]

Shortly after the party declaration, 27 July Riot took place. Sudjatmiko was accused as riot perpetrator by the Soeharto government, and then arrested in August 1996.[citation needed] He received 13 years jail sentence, but then was released in 10 December 1999 after Soeharto's downfall. He then continued as the chairman of the party until 2001.

In 2002, after resigning from his chairman position and leaving his party, he pursued Master degree in Department of Political Studies, School of Oriental and African Studies. He continued to pursue MPhil degree in University of Cambridge.

In December 2004, he joined Indonesian Democratic Party, which is one of the major party in Indonesia. On this movement, he commented:

Although there is still much which must be sorted out in terms of professionalism, ethics and morals, in the vision of struggle and other programs within the PDI-P, all of this is a challenge for the PDI-P to become the party of the little people.