Sabtu, 29 Desember 2007

Kaum Muda Harus Realistis

PDI Perjuangan Koordinator Wilayah Negeri Belanda. -

Budiman Sudjatmiko : Kaum Muda Sudah Punya Hitungan Yang Realistis

Kategori : PDIP

Published by Korwil on 29/Dec/2007

Kaum Muda Sudah Punya Hitungan Yang Realistis

Aktivis Pemuda, Budiman Sudjatmiko

Dari Pemilihan Presiden 2004 hingga jelang Pil-pres 2009, belum kelihatan tokoh pemuda yang

me-nonjol. Yang jadi bahan perbincangan masih itu-itu saja, SBY, Mega, Wiranto, Jusuf Kalla

misalnya.

Salah satu tokoh pemuda, Budiman Sudjatmiko pun men-dukung Megawati Soekarnoputri. Mengapa

pe-muda tak mengusung tokoh pemuda untuk mem-per-baiki negeri ini?

Berikut obrolan Rakyat Merdeka dengan Ketua Umum Re-lawan Perjuangan Demokrasi (Repdem)

ini di sebuah warung kopi di Jakarta, Kamis malam (27/12).

SEJAUH ini, kandidat capres atau cawapres kaum muda be-lum tampak...

Waktu menuju pemilihan presiden kan masih panjang. Seperti presiden yang sekarang, juga belum

resmi mengeluarkan statemen akan mencalonkan diri lagi. Yang lain-lain juga belum muncul.

Memang baru Megawati dan Sutiyoso yang berterus terang akan mencalonkan diri. Kalau Ibu Me-ga,

memang sudah menjadi desakan dan putusan Rakernas PDI Perjuangan.

Jadi, menurut saya, tinggal tung-gu waktu saja kalau kalangan mu-da ingin jadi capres. Peluang itu

terbuka untuk siapa saja, ting-gal sekarang tantangannya, apa-kah akan mendapatkan dukungan

atau tidak.

Pamor tokoh-tokoh pemuda, se-pertinya masih kalah ketim-bang tokoh-tokoh lama seperti

SBY dan Mega...

Kaum muda mungkin harus melakukan evaluasi dan kritik diri, kenapa diantara mereka ga-gal

mengusung pemimpin-pe-mimpinnya, walaupun kita lihat ba-nyak pemimpin pemuda dari ka-langan

mahasiswa, KNPI dan lain-lain.

Pertanyaannya, bisa tidak me-reka bukan hanya menjadi pe-mimpin kaum muda, tapi pe-mimpin

seluruh bangsa ini. Per-tanyaan itu penting untuk di-jawab, karena yang akan kita pi-lih adalah

pemimpin republik.

Kapan tokoh-tokoh pemuda mampu menyaingi tokoh-tokoh lama?

Saya tidak bisa merepre-sen-tasikan seluruh kaum muda. Saya hanya salah satu elemen dari

se-kian banyak kaum muda.

Sampai sekarang, berbagai ke-lompok kaum muda memang men-cari figur-figur, tapi tentu sa-ja,

kaum muda sudah punya hi-tungan-hitungan yang realistis, ma-na yang kira-kira mau didu-kung,

entah itu dari genereasi tua atau muda.

Baik dari kalangan muda atau tua, capres ideal itu seperti apa?

Persoalan memilih pemimpin tidak gampang. Kalau sekadar mencari orang yang sering dimuat di

surat kabar, sering di-wawancara, banyak sekali. Per-soa-lannya, apakah mereka di-du-kung rakyat

untuk menjadi calon presiden atau tidak?

Karena itu, syarat seorang pe-mimpin tidak hanya dikenal, tapi juga bisa diterima, diterima

pemikirannya, diterima track recordnya dan segala macamnya.

Kita juga membutuhkan pe-mim-pin yang tegas, berani, pu-nya integritas, mampu men-dorong

lahir-nya terobosan-terobosan dalam berbangsa dan bernegara.

Dia juga harus mampu memo-ti-vasi orang untuk bergerak, bisa me-letakan visi bangsa ini ke

de-pan, kemudian bagaimana meng-ge-rakan orang untuk mencapai visi itu. Inilah yang dibutuhkan

dari seorang pemimpin, pemim-pin di setiap level, bukan hanya se-kadar presiden.

Pemimpin terbaik bukan ber-arti dia harus profesor, bukan dari kepangkatannya, tapi mam-pu

menetapkan visi milik bangsa, dan punya kemampuan meng-ge-rakkan 200 juta rakyat Indonesia

dengan cara yang demokratis.

Karena tak mengantongi ge-lar sarjana, Megawati akan ter-ganjal menuju Pilpres 2009?

Saya kira enggak tuh, Bu Mega pernah jadi presiden dan tidak ada yang mempermasalahkan gelar

itu. Undang-undang pun tidak melarang yang bukan sarjana untuk ikut pilpres.

Selain itu, gelar sarjana tidak men-cerminkan kecerdasaan se-seorang, sebagaimana orang pernah

dipenjara tidak men-cerminkan moralitas dia yang rendah. Makanya, menurut saya, itu tidak pernah

jadi isu yang menghambat.

Anda yakin Mega akan me-nang di Pilpres 2009...

Kalau enggak yakin, PDIP tidak akan mencalonkan Ibu Mega. Survei-survei menun-juk-kan, Bu

Mega masih jadi penan-tang terkuat Presiden SBY. Saya kira, keyakinan itu dan kemam-puan Mega

untuk mensolidkan ja-jaran partai, menjadi modal kuat.

Selain Mega, apakah PDIP tidak punya tokoh muda yang berpotensi maju?

Sebuah partai yang baik, tentunya harus memunculkan potensi-potensi kepemimpinan. Tapi setelah

kita hitung, setelah di-survei di partai, juga peneri-ma-an kalangan grass root, yang paling muncul

Megawati.

Selain itu, baru Mega yang mam-pu menggerakkan visi partai dan seluruh elemen partai sampai

seka-rang. Tentunya potensi-po-tensi lain di PDI Perjuangan ada, tapi belum sebesar nama

Me-gawati.

Begitu banyak persoalan yang dihadapi negara ini, mampukah pemuda menjadi presiden?

Bangsa ini sudah dewasa, begitu demokratis, membuka diri untuk dipimpin siapapun, asal pemimpin

itu sesuai kriteria kebutuhan bangsa, yakni untuk mencapai tujuan reformasi serta tujuan berbangsa

dan bernegara seperti yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945.

Siapapun figurnya, berapapun umurnya, syaratnya dia sanggup membentuk pemerintahan Indonesia

yang melindungi segenap bang-sa Indonesia, seluruh tum-pah darah Indonesia, memajukan

kesejahteraan umum, mencer-das-kan kehidupan bangsa, dan mem-bawa bangsa Indonesia

ter-libat da-lam menciptakan ke-tertiban du-nia berdasarkan per-damaian abadi dan kesejahteraan

sosial.

Adakah pemuda yang sudah memiliki kemampuan untuk memenuhi amanat Pembukaan UUD

itu?

Sebenarnya kaum muda yang memiliki kapabilitas itu banyak. Kita tidak krisis calon pemimpin. Tapi,

orang-orang yang memiliki kapabilitas ini belum mampu sepenuhnya menerjemahkan keinginan

rakyat dengan bahasa rakyat. Inilah yang menjadi tantangan bagi setiap kaum muda. rm SUMBER:

http://www.rakyatmerdeka.co.id/edisicetak/?pilih=lihat&id=52959Rakyat Merdeka, Minggu, 30

Desember 2007, 01:59:22

Rabu, 12 Desember 2007

Eks Napol Boleh Jadi Presiden

Budiman Sudjatmiko: Eks Napol Boleh Jadi Presiden PDF Cetak E-mail

Jakarta - Keputusan MK menolak gugatan terhadap 4 UU yang dianggap diskriminatif bagi mantan napi harus dibaca secara seksama. Ada pengecualian bagi mantan napi politik dan napi tindak pidana karena kealpaan ringan.

Hal ini diungkapkan salah satu penggugat yang juga mantan napol Budiman Sudjatmiko dalam perbincangan dengan detikcom, Rabu (12/12/2007).

Budiman mengatakan, dalam penjelasan putusan MK yang diterimanya, ketentuan itu tidak berlaku bagi tindakan kealpaan ringan (misal menabrak orang) atau kejahatan politik, walaupun masa hukuman lebih dari 5 tahun.

"Yang di maksud kejahatan politik oleh MK adalah mengacu pada perbuatan yang sesungguhnya merupakan ekspresi pandangan atau sikap politik yang dijamin dalam sebuah negara hukum yang demokratis. Namun oleh hukum positif pada saat itu dirumuskan sebagai tindak pidana semata-mata karena berbeda pandangan politik yang dianut oleh rezim yang sedang berkuasa," papar Budiman panjang lebar.

Penjelasan itu dikutip mantan Ketua PRD ini dari putusan No 14-17/PUU-V/2007 yang dikeluarkan MK.

Sebagai solusi, MK menyarankan kepada para penggugat agar menyelesaikan masalah ini lewat lembaga legislatif.

"MK meminta adanya legislatif review atau revisi UU tersebut. Tapi kalaupun tidak ada, para napol bisa mengacu pada penjelasan dalam putusan ini," imbuh Budiman.

Dia kembali menegaskan, berdasarkan keputusan MK tersebut, ketentuan dalam UU 23/2003 tentang Pilpres, UU 24/2003 tentang MA, UU 32/2004 tentang Pemda dan UU 15/2006 tentang BPK yang gugatannya ditolak oleh MK tidak berlaku bagi eks napol.

Sumber : www.detik.com

Minggu, 19 Agustus 2007

Antara Proklamasi dan Deklarasi

Minggu, 19 Agustus 2007
Budiman Sudjatmiko: Antara Proklamasi dan Deklarasi

Teks proklamasi kemerdekaan sudah dibacakan 62 tahun lalu oleh Bung Karno dan Bung Hatta atas nama bangsa Indonesia. "Tidak ada yang luar biasa" pada peristiwa 17 Agustus 1945 itu, kecuali telah dinyatakan kepada seluruh rakyat Indonesia dan dunia bahwa kita telah merdeka. Dengan merdeka, terjadi pengambilalihan kekuasaan. Ia tidak ditunjukkan dengan kejadian luar biasa, misalnya, ada upacara sertijab (serah terima jabatan) yang dramatis dari penguasa Jepang yang kalah dari sekutu kepada Soekarno-Hatta di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta.

Kehendak merdeka

Namun, sesederhana apa pun peristiwa proklamasi itu, inilah yang oleh Jl Austin, filsuf bahasa dari Inggris, dalam buku How to Do Things with Words, disebut act of speech. Ini sama seperti mengucapkan "terima kasih". Tak ada tindakan apa pun untuk menunjukkan bahwa seseorang berterima kasih, kecuali mengucapkan kata "terima kasih" itu sendiri.

Demikian juga dengan teks proklamasi. Bahwa suatu bangsa menyatakan merdeka dan mengambil alih kekuasaan, tak ada tindakan lain selain mengeluarkan pernyataan itu sendiri, maka merdekalah bangsa itu.

Sebagai act of speech, membacakan teks proklamasi yang singkat, merupakan tindakan sederhana meski sarat makna dan sakral sehingga (kecuali para separatis) nyaris tak ada pemimpin di Indonesia yang berpikir untuk mengkhianati apa yang eksplisit terkandung dari teks proklamasi itu. Ia terlalu sederhana namun sakral. Semacam credo atau syahadat sebuah bangsa.

Namun, kini orang cenderung lupa, sebagai bangsa sebenarnya kita memiliki dokumen lain yang terkait "kehendak merdeka", selain proklamasi kemerdekaan. Inilah deklarasi yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 yang oleh Bung Karno dikatakan telah "memberikan pedoman-pedoman tertentu untuk mengisi kemerdekaan nasional kita, untuk melaksanakan kenegaraan kita, untuk mengetahui tujuan dalam perkembangan kebangsaan kita, untuk setia kepada suara batin yang hidup dalam kalbu rakyat kita" (Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi Jilid II).

Namun, dalam perjalanannya, berbeda nasib antara teks proklamasi dan isi teks deklarasi. Tidak seperti terhadap proklamasi, banyak pemimpin kita (politik, ekonomi, budaya, dan sebagainya) kerap mengkhianati deklarasi kemerdekaan yang menjadi "suara batin yang hidup dalam kalbu rakyat kita" itu.

Banyak dari mereka setelah terpilih sebagai pemimpin rupanya lebih sering gagal "untuk membentuk suatu pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia serta untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial" (Alinea IV Pembukaan UUD 1945).

Deklarasi yang Ideologis

Berbeda dengan teks deklarasi kemerdekaan Amerika Serikat yang jelas mengatakan tak ada sesuatu pun yang berhak merebut hak setiap orang untuk mengejar kebahagiaan pribadinya, maka teks deklarasi kemerdekaan Indonesia bertitik tekan untuk "memajukan kesejahteraan umum". Sebagai sebuah teks, deklarasi kemerdekaan, kita menegaskan watak ideogis yang komunitarian demokratik, bukannya individualisme demokratik.

Dalam sebuah kajian yang dibuat Harvard Business School, disebutkan, apa pun namanya, di dunia ini ada dua tipe ideologi, yaitu individualisme dan komunitarianisme. Jika individualisme lebih menekankan pada persamaan kesempatan, berbasis kontrak, hak-hak milik, daya saing untuk memuaskan kebutuhan konsumen (yakni sebagian dari masyarakat yang punya daya beli), dan peran minim dari negara, maka komunitarianisme demokratik lebih menekankan persamaan hasil (yang diharapkan kesejahteraan umum bisa maju dan kecerdasan bangsa bisa diraih), hak dan kewajiban anggota komunitas, memuaskan kebutuhan seluruh komunitas (terlepas punya daya beli atau tidak), peran aktif negara, serta bersifat holistik atau saling tergantung antarmanusia, dan manusia dengan alam.

Dari tugas pemerintahan yang hendak didirikan oleh sebuah Indonesia yang merdeka, pesan ideologis yang terkandung adalah Pancasila merupakan bagian dari tipe ideologi yang komunitarian demokratik yang menekankan peran aktif negara untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.

Studi dari Harvard itu juga menunjukkan, dalam kajian terhadap sembilan negara, justru negara-negara yang tradisi komunitarianisme demokratiknya paling tinggi, yaitu Jepang, Korea, Taiwan, dan Jerman, adalah negara yang paling kompetitif dalam mengatasi ketertinggalannya dalam pembangunan ekonomi dan karakter bangsanya pada era seusai Perang Dunia II.

Karena itu, perlu kiranya kita menggunakan momentum refleksi kemerdekaan ini untuk sungguh-sungguh berpikir dan berbuat berdasarkan pikiran yang sehat. Pikiran dan perbuatan yang sehat seyogianya memaknai kemerdekaan sebagai sebuah tindakan dan kehendak (atau tekad) sekaligus untuk semakin pantas kita mengklaim diri merdeka. Dalam hal ini adalah memerdekakan sebuah komunitas bangsa yang dicirikan oleh kecerdasan dan kesejahteraan umumnya yang meningkat, yang segenap dirinya dilindungi secara sengaja oleh pemerintahnya dalam sebuah negara yang sudah dimerdekakan melalui proklamasi. Inilah fungsi dan guna dari sebuah deklarasi kemerdekaan.

Perkara logika

Menurut hemat penulis, kehendak untuk mewujudkan kemerdekaan komunitas bangsa sebagai amanat deklarasi kemerdekaan bukanlah perkara etika, melainkan perkara logika.

Karena berbeda dengan apa yang dilakukan pemerintah asing yang menjajah kita yang bermaksud "mencerdaskan" dan "menyejahterakan" bangsa jajahan melalui "politik balas budi/politik etis", Pemerintah Indonesia tidak diminta berbuat etis atau membalas budi rakyatnya sendiri saat melindungi dan memajukan kesejahteraan umum mereka.

Ini adalah urusan yang logis sekaligus ideologis dari sebuah pemerintahan yang masih mau disebut sebagai pemerintah negara Indonesia. Karena ia sudah tertulis dalam bacaan pendahuluan kitabnya bangsa Indonesia merdeka, yakni Pembukaan UUD 1945 atau Deklarasi Kemerdekaan Indonesia.

Leaders, you were elected not only to lead but also to read. Dirgahayu Indonesia.


Budiman Sudjatmiko: Direktur Eksekutif ResPublica Institute; dan Departemen Pemuda dan Mahasiswa DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan

Jumat, 30 Maret 2007

Mentalitas dan Ideologi Soeharto Masih Berkuasa

Budiman S.: Mentalitas dan Ideologi Soeharto Masih Berkuasa

Bojonegoro (ANTARA)- Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Nasional Relawan Perjuangan Demokrasi (REPDEM), Budiman Sudjatmiko, menegaskan bahwa kingga kini mentalitas dan ideologi Soeharto, Presiden RI periode 1966-1998, masih berkuasa.

"Ini bisa dibuktikan dengan kudeta yang dilakukan kepada Soekarno, masih dianggap konstitusional," katanya, saat kesempatan melantik Dewan Pimpinan Cabang (DPC) REPDEM Bojonegoro, Jawa Timur, dan dialog publik bertema "Super Semar, Kudeta terhadap Soekarno" di Kantor DPC Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Minggu.

Indikasi lainnya, menurut dia, sampai sekarang Soekarno masih dianggap bersalah, sedangkan Soeharto tidak.

Ia mengemukakan, menyusul berkuasanya Soeharto, terjadi proses intimidasi, mulai mereka yang menjadi anggota Partai Nasional Indonesia (PNI) dikejar-kejar, menyimpan gambar dan bukunya Soekarno ditangkap hingga mereka yang dianggap anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) hidupnya dipersulit.

Budiman berpendapat, ada kekuatan dalam dan luar negeri yang menjatuhkan pemerintahan Soekarno. Pada waktu itu, Presiden Soekarno dikudeta secara inkonstitusional.

Berdasarkan informasi yang dia terima, Surat Perintah Sebelas Maret (Super Semar) yang asli sekarang ini tersimpan di Departemen Pertahanan Amerika Serikat atau dikenal dengan sebutan Pentagon.

"Seharusnya kalau memang makar, Super Semar tidak harus diabadikan menjadi Universitas Sebelas Maret, karena melanggar konstitusi," ujarnya.

Kepada pengurus REPDEM Bojonegoro, Budiman Sudjatmiko meminta mereka untuk turut berjuang memenangkan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Bojonegoro, Pemilihan Gubernur (Pilgub) di Jatim, hingga Pemilu Legislatif dan Pemilihan Presiden (Pilpres).

"Kader-kader REPDEM harus tidak korup dan layak tampil sebagai pejuang demokrasi," katanya

Di Indonesia, REPDEM Bojonegoro merupakan ke-43 yang sudah terbentuk, sedangkan di tingkat Provinsi sudah terbentuk pada 13 daerah.


Sumber http://www.indonesiamedia.com/2007/03/mid/opini/Pelajaran.htm

Sabtu, 24 Maret 2007

Ceramah di IRM

Partisipasi Pelajar Untuk Politik Harus Lebih Dari Biasa


Arif Nur Kholis
Sabtu, 24 Maret 2007

ImageSleman- Partisipasi politik pelajar bisa saja seperti biasa, berpartisipasi dengan mengikuti pemilu, memilih partai yang se-ide. Tetapi IRM ingin partisipasi politik pelajar tidak sesederhana itu, ingin partisipasi politik sampai mendapatkan pemimpin yang transformatif. Demikian pendapat Budiman Sujatmiko dalam stadium general , Rakernas IRM, sabtu (24/03/2007) di gedung Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP), Kalasan, Sleman.

Menurut Budiman kepemimpan di era reformasi , terlepas kekurangan mereka, merupakan pemimpin yang sudah reformis. Paling tidak mereka sudah menggunakan cara-cara reformis, dibanding cara cara rezim orde baru sebelum mereka. Namun pemimpin yang reformis belum tentu menjadi pemimpin yang transformatif.

Menurut Budiman kepemimpan di era reformasi , terlepas kekurangan mereka, merupakan pemimpin yang sudah reformis. Paling tidak mereka sudah menggunakan cara-cara reformis, dibanding cara cara rezim orde baru sebelum mereka. Namun pemimpin yang reformis belum tentu menjadi pemimpin yang transformatif.

Politisi muda dari PDI Perjuangan ini mendefinisikan pemimpin transformatif adalah pemimpin yang secara politik, kultural, spirit dan gaya bisa memberi inspirasi rakyat untuk melakukan sesuatu, dengan tingkat kepercayaan tinggi dari rakyatnya .”Juga pemimpin yang tingkat kepercayaan terhadap rakyatnya tinggi” imbuh Budiman. “Bagi saya pemimpin transformatif adalah pemimpin yang amanah, aspiratif dan berani mengambil arah”

Budiman yang sempat aktif di IPM SMA Muhammadiyah I Yogyakarta ini, menceritakan, bahwa bentuk partisipasi pelajar bisa dimulai dengan belajar membangun kantong kantong pemikiran alternatif. “Kami berfikir anak anak muda haruslah nakal, dikala saya aktif IPM, saya dengan beberapa teman menciptakan kantong kantong pemikiran yang dikala itu bisa dikatakan subversif,”ungkapnya. (arif)