Tanggal : | 03 Mar 2005 |
Sumber : | Prakarsa Bali |
Prakarsa Rakyat - Indonesia, Kekalahan Blok Demokrasi Dalam Pentas Politik Nasional Sepanjang tahun 2004 rakyat Indonesia terlibat langsung dalam politik elektoral untuk memilih anggota legislative di DPRD, DPR, DPD dan memilih secara langsung untuk pertama kalinya seorang presiden sebagai pimpinan eksekutif negara.
Dari pemilihan legislatif terjadi tiga kecenderungan utama;
Pertama, munculnya Partai Golkar sebagai partai pemenang pemilu legislaif untuk mendapatkan kursi di DPR dan DPRD diberbagai kota. Partai pemerintahan Megawati, PDIP teryata mengalami kekalahan ketika diberi kesempatan untuk berkuasa.
Kedua, munculnya kekuatan elektoral baru yang dipimpin oleh Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera dengan perolehan suara signifikan, bahkan melewati PAN, pimpinan Amien Rais.
Ketiga, tingginya angka Golongan Putih (Golput) diluar prediksi banyak pihak yang menduga hanya dibawah 5 epersen, tapi pada kenyataannya jumlahnya mencapai hampir sekitar 20 persen dari total pemilih.
Dalam Pemilihan presiden juga terjadi dua kecenderungan utama;
Pertama, gagalnya kekuatan reformis politik elektoral untuk mempertahankan supremasi sipil dalam pimpinan eksekutif negara paska tumbangnya kediktatoran Jendral Besar Soeharto. Partai-partai reformis semacam PDIP dan PAN terbukti gagal memberdayakan konstituen dan kesempatan politik yang diberikan untuk terus mendorong konsolidasi demorkatis, tapi malah sebaliknya dihancurkan oleh pembusukan internal dan kinerja para pimpinanya yang tidak populis dan kurang memihak kepentingan rakyat. Bahkan banyak para pimpinan PDIP di daerah-daerah yang terlbiat dalam berbagai skandal korupsi. Struktur dan alat politik elektoral dalam partai-partai reformis terbukti hanyakah partai mobilisasi suara untuk momentum belaka, bukan sebuah partai yang teroganisir baik dan mempunyai keterikatan yagn programatik.
Kedua; politik elektoral terbukti lebih berhasil menggkonsolidasikan kekuatan residu orde baru untuk melakukan revitalisasi politik dengan menaikan figure Jendral Soesilo Bambang Yudoyono sebagai ‘citra alternatif’ untuk membawa kekecewaan rakyat akan pemerintahan Megawati untuk memenangkan SBY dalam dua tahap pemilihan presiden. Kemenangan SBY ini menurut MT Arifin, seorang pengamat militer, kemungkinan besar juga terkait dengan dukungan dari TNI kepada SBY. Sepertinnya terjadi suatu ‘konsolidasi tertutup’ yang mengarahkan politik TNI secara ‘diam-diam’ untuk mendukung SBY, meskipun secara formal Pangab Jendral Indrianto mengatakan TNI akan bersikap netral. Kemenangan ini merupakan suatu titik balik dari perjalanan kepemimpinan sipil paska Soeharto.
Dan ironisnya, kekuatan politik moral semacam PKS tenyata terlibat dalam proses ini dengan mendukung SBY secara organisasional, bukannya mendukung blok politik kaum sipil yang berporos pada pencalonan Megawati Soekarnoputri. Kejadian ini menunjukan bahwa perebutan kekuasaan politik telah menjebak partai ini pada pragmatisme politik yang tidak beda dengan partai-partai lainnya.
[b/]Kecenderungan Gerakan Masyarakat Sipil [b/] Demokratis
Sistem politik yang demokatis belum tentu menghasilkan pimpinan pemerintahan yang baik dan ideal. Indonesia sendiri tampaknya menghadapi dilemanya sendiri dengan transisi demokrasi yang sedang berlangsung.
Pemilihan presiden langsung memang membuat siapapun presiden yang terpilih akan mempunyai legitimasi yang kuat, ketimbang politik dagang sapi di DPR/MPR seperti pemilihan presiden sebelumnya. Namun sistem yang baik ini, sayangya tidak diikuti dengan pilihan-pilihan ideal yang lebih baik dari kualitas sebelumnya.
Menangnya mesin politik Orba Partai Golkar dalam pemilu legislative, bercokolnya residu orba di DPD dan menangnya mantan jendral militer Orba dalam perebutan kursi presiden menunjukan bahwa transisi demokrasi gagal menciptakan alternatif politik atau pimpinan yang lebih baik bagi rakyat—bahkan mungkin bagi ruang demokrasi itu sendiri kelak. Bandul politik semakin menguntungkan kekuatan orde baru yang berporos pada Partai Golkar dan mantan militer yang dijaman orba menjadi pelaku utama pelanggaran Ham.
Menyikapi pemilihan Capres pada bulan Juli 2004 kekuatan demokrasi yang lemah dan berserak seperti mendapatkan pukulan telak, bahwa mereka kini dihadapkan pada pilihan-pilihan ‘buruk’ dan ‘paling buruk’. Memilih antara poros politik dengan track demokratis yang pas-pasan macam pasangan Mega-Hasyim dan Amien-Siswono atau memilih poros politik yang mempunyai ‘kemungkinan membahayakan proses transisi demokrasi kedepan’ dengan naiknya kandidat mantan militer seperti Wiranto dan SBY.
Tidak adanya kekuatan ‘politik sipil jalan ketiga’ dipolitik arus atas membuat gerakan masyarakat sipil demokratis seperti terbelah dalam berbagai strategi atau respon untuk menghadapinya—bahkan terkesan bingung sendiri.
[b/]Respon 1: Ikut Bermain Dalam Sistem Politik [b/]
Memberikan Dukungan Kritis Pada Capres
Sikap yang paling realistis melihat kelemahan subyektif kekuatan demokratis adalah menerima kenyataan politik yang ada dan berbuat ‘semaksimal’ mungkin dalam permainan politik arus atas yang sedang berlangsung.
Asumsi dari aktivis yang mengambil sikap ini adalah tidak punya pilihan lain dalam politik arus atas untuk ‘melindungi demokrasi’ yang sedang dipertaruhkan melawan kandidat mantan militer. Munir salah seorang aktivis Ham penggerak Kontras yang mendukung capres Amien Rais mengatakan alasannya mendukung Amien Rais.
"Saya orang yang mengambil sikap politik, karena saya tidak melihat kompetisi politik Indonesia hari ini sebagai kompetisi memilih yang terbaik, tapi saya masih melihat kompetisi politik Indonesia memilih orang yang paling tidak punya ancaman terhadap demokrasi. Kita tidak terlalu banyak punya pilihan. Dengan pilihan ‘yang tidak banyak’ tersebut Munir menambahkan bahwa “komitmen saya adalah komitmen politik demokrasi. Dan saya memilih ini dalam rangka melindungi demokrasi di Indonesia." (Wawancara Radio Nederland, 23 Juni 2004).
Sikap memberikan ‘dukungan realistis’ atas pilihan politik elektoral juga dilakukan oleh Budiman Sudjatmiko, mantan Ketua Umum PRD yang kini sedang bertapa mendapatkan gelar MA di Cambridge, Inggris. Budiman tidak secara terbuka menyatakan memberikan dukungan pada pasangan Megawati-Hasyim Muzadi, tapi ia hanya memberikan suatu ‘isyarat’ bila harus berkompetisi dengan kandidat lainnya, apalagi yang mantan militer maka track record Megawati dan hasyim Muzadi lebih unggul. Atau dengan lugas ia mengatakan yang penting sekarang ini bukanlah siapa yang akan dipilih, tapi siapa yang harus dikalahkan lebih dahulu dalam perspektif demokrasi kedepan. (Bisnis Indonesia, Kamis, 24/06/2004).
Sikap yang sama juga terjadi di Bengkulu ketika gerakan social yang ada memberikan dukungan kepada Amien Rais dalam pemilihan presiden tahap pertama, dan memberikan dukugnan pada Megawati pada tahap pemilihan kedua.
[b/]Pemilihan Dewan Perwakilan Daerah[b/]
Sistem politik Indonesia yang baru telah mengubah MPR kedalam sistem bikameral yang terdiri dari anggota DPR yang mewakili Parpol dan anggota badan Senat yang disebut dengan Dewan Perwakilan Daerah yang anggotanya dari jalur non-partisan.
Perebutan kursi DPD ini telah mendinamisir politik lokal dan mengintegrasikan strategi gerakan social di tingkat lokal untuk berpartisipasi dalam politik elektoral. Di Bengkulu, Jawa Tengah, DKI Jakarta, NTT, Maluku para aktivis demokrasi dan gerakan sosial mencalonkan dirinya untuk memenangkan kursi DPD.
Pemilihan kursi DPD telah mentransformasi strategi gerakan social untuk ikut bermain dalam ruang politik elektoral seperti lazimnya pekerjaan partai politik. Terlepas dari hasil beragam yang didapat oleh para aktivis demokrasi diberbagai daerah, momentum ini telah memberikan sebuah perpektif baru, bahwa gerakan social tidak lagi mentabukan ‘perebutan kekuasaan politik’ didalam sistem yang ada. Suatu strategi perjuangan yang baru muncul dalam momentum elektoral 2004 lalu.
Dari pengalaman pemilihan DPD tersebut kasus Bengkulu menjadi sebuah contoh keberhasilan yang mengejutkan. Dengan dukungan dari gerakan tani, nelayan, pedagang kecil dan kantor bantuan hukum progresif, Muspani SH berhasil memenangkan sebuah kursu untuk DPD dari Bengkulu. Kemenangan ini bukanlah sekedar kareena momentum tapi karena ada basis gerakan sosial yang dikonsolidasikan dan dipersiapkan dengan rapi untuk kemenangan tersebut.
[b/]Menawarkan Poros Politik Baru [b/]
Kecewa atas berbagai parpol dan para capres yang ada berbagai kelompok dan lingakaran aktivis mereponnya dengan mencoba menawarkan ‘ poros politik alternatif†dari yang cair macam Aliansi Oposisi pimpinan Cak Nur hingga ‘poros radikal’ macam Barisan Oposisi Bersatu (BOB) yang dibidani PRD dan jaringannya. Sedangkan jalan tengah yang tidak mau masuk dalam ‘lingkaran oposisi elitis’ macam Cak Nur atau oposisi radikal macam PRD juga berinisiatif membangun Forum Sosial Jakarta.
Inisiatif Cak Nur untuk membangun ‘gerakan moral’ poros politik alternatif melahirkan kelompok Aliansi Besar Untuk Perubahan dengan deklrator ‘aktivis pelangi’ yang mempunyai latar belakang politik yang sangat beragam. Nurcholish Madjid mengatakan pemilu kali ini mungkin akan berhasil secara prosedural tetapi substansinya mungkin akan gagal. Namun melihat banyaknya kepentingan dan orang-orang yang diragukan komitmennya untuk demorkasi yang masuk kedalam aliansi ini, sangat meragukan bahwa opisisi yang akan dibangun Cak Nur ini akan menjadi kekuatan riil.
Pengelompokan kedua yang berupaya menawarkan poros politik alternatif adalah deklarasi Barisan Oposisi Bersatu (BOB) menjelang pencoblosan pemilu 5 April 2004 lalu. Kelompok ini dipelopori oleh PRD dan jaringanya dan tampaknya berupaya menjaring ‘ketidak puasan elektoral rakyat’ menjadi suatu gerakan politik alternatif. Barisan Oposisi Bersatu terdiri dari sejumlah elemen gerakan demokratik FNPBI, PRD, Pijar, FPDRA, HMI MPO, LMND, JMD, dan Barisan Miskin Kota. BOB secara tegas menyatakan penolakannya pada kaum reformis gadungan dan mengusulkan pembentukan Pemerintahan Persatuan Rakyat.
Menurut BOB Pemilu 2004 nanti tak akan mampu menyelasaikan persoalan – persoalan rakyat, oleh karena itu yang di butuhkan adalah Pemerintahan Persatuan Rakyat, hasil dari koalisi gerakan rakyat yang konsisten.
Pengelompokan ketiga untuk menawarkan poros alternatif adalah suatu aliansi luas yang diprakarsai oleh Romo Sandyawan dari gerakan Ciliwung Merdeka. Aliansi ini diikuti oleh 65 lembaga dan puluhan individu yang menyatakan dukungannya untuk bergabung dalam payung aliansi “Forum Sosial Jakartaâ€.
Dalam platformnya aliansi ini mengusung apa yang disebut “Sepuluh Agenda Rakyat untuk Meraih Keadilan†sebagai ‘program bersama’ yang akan disosialisasikan seluas mungkin kepada berbagai unsur gerakan social-politik dari yang radikal hingga moderat. “Kini saatnya seluruh komponen gerakan pro demokrasi dan keadilan kembali menyatukan langkah dan kekuatan.“
Legitimasi moral Romo Sandyawan nampaknya magnet utama yang menyebabkan aliansi ini dengan cepat terbentuk dan mendapatkan dukungan luas yang terus bertambah hingga deklarasi berlangsung.
Menuntut Kontrak Politik Dengan Agggota DPRD Terpilih
[b/]Menuntu Kontrak Politik [b/]
Bulan September 2004 juga diwarnai dengan berbagai demonstrasi diberbagai kota diseluruh Indonesia. Motor utama dari aksi-aksi tersebut adalah gerakan mahasiswa, baik yang mempunyai wadah nasional seperti BEM dan KAMMI, juga atas inisiatif kampus-kampus lokal atau komite aksi ditingkat lokal. Tuntutan para demonstran mencakup; 1) menolak anggota DPRD yang mempunyai masalah dengan hukum terutama terlibat dengan kasus korupsi. 2) menuntut diadakan kontrak politik antara anggota dewan terpilih dengan rakyat.
[b/]Respon 2: Menolak Berpartisipsi Dalam Momentum Politik elektoral [b/]
[b/]Memilih Golput [b/]
Sikap keras diberikan oleh berbagai elemen gerakan ekstra parlementer yang menganggap pilihan-pilihan capres yang ada tidak akan membawa perubhan dan keuntungan bagi rakyat, karena itu taktiknya adalah dengan menolak memberikan dukungan pada kandidat capres yang ada. Sikap ini bahkan juga berkesan melangkah lebih jauh lagi dengan ‘tidak percaya dengan sistem elektoral perwakilan ‘ itu sendiri.
BEM se-Indonesia menyatakan menolak terhadap capres/cawapres yang akan mengikuti Pemilihan Presiden 2004 pada bulan Juli 2004 nanti, karena semua capres/cawapres itu tidak berpihak kepada rakyat. Menurut BEM Pemilu 2004 merupakan sebuah proses demokrasi palsu yang menghasilkan sebuah hasil yang tidak signifikan terhadap perubahan bangsa.
KAMMI dalam pernyataan sikapnya menolak untuk memilih seluruh kandidat, sebab “belum ditemukan profil ideal dan model kampanye yang elegan dari kandidat presiden/wakil presiden yang ada.†Dengan penolakan tersebut KAMMI secara terbuka menyatakan dirinya “sebagai kekuatan oposisi extra parlementer demi cita-cita terwujudnya visi dan agenda reformasi.†(Pernyatan Sikap Politik KAMMI Pada Pemilihan Presiden/Wakil Presiden 2004. Jakarta, 30 Juni 2004)
Sementara Front Mahasiswa Nasional melihat tidak ada perbedaan signifikan diantara semua kandidat capres yang akan membawa perubahan pada nasib rakyat. Dari analisa seperti itu FMN menyimpulkan “ Tidak Mempercayai Pemilu Pilpres 2004 akan melahirkan pemerintahan demokratis dan menyelesaikan problem-problem rakyat.†Karena itu FMn menyerukan untuk “Tidak memilih pada Pemilu Pilpres 2004â€. Sebagai alternatif, FMN justru menyerukan pembangunan “front luas luas anti Orba dan Neo Orba.†(Pernyataan Sikap FMN. Sikap Atas Pilpres 2004. Mataram, 26 Juni 2004).
Posisi GOlput juga diambil oleh 158 organiasi yang menghadiri Musyawarah Nasional Masyarakat Sipil di Jakarta. Koalisi ini menyatakan tidak percaya kepada dua pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla dan Megawati Soekarnoputri-Hasyim Muzadi. Dalam pernyataannya dikatakan "Kami mengakui sebagai kekuatan masyarakat sipil kami telah gagal mendorong terwujudnya agenda reformasi sehingga para capres yang tampil adalah mereka yang tidak tampil merepresentasikan masyarakat sipil." (KCM, 26/08)
[b/]Merebaknya Isu Anti Militerisme [b/]
Sepanjang tahun 2004 juga ditandai dengan meningkatnya suhu gerakan anti militerisme dan kandidat capres berlatar belakang militer di berbagai kota. Pendukung utama isu ini tak pelak lagi adalah berbagai komponen gerakan mahasiswa yang sejak awal reformasi selalu konsisten memasang badan dan menjadi martir melawan militerisme.
Luasnya geografi aksi dan kelompok mahasiswa yang terlibat menunjukan bahwa gerakan mahasiswa dapat bersatu dengan cepat dalam platform ‘anti militerisme’. Gerakan ini mencuat dengan cepat karena munculnya tiga momentum yaitu; Pertama, kasus pemukulan mahasiswa UMI di Makkasar oleh polisi dan disiarkan oleh SCTV secara nasional, yang kemudian meluas menjadi aksi-aksi solidaritas ‘anti militerisme’ Kedua, lolosnya jendral (purn) Wiranto sebaga kandidat Capres dari Partai Golkar dan majunya jendral (purn) Susilo Bambang Yudoyono sebagai kandidat presiden dari Partai Demokrat. Ketiga; Pembahasan draft RUu TNI di DPR RI.
Sepanjang tiga bulan terakhir berbagai elemen gerakan mahasiswa nasional seperti KAMMI, BEM, LMND, FMN, IMM dan berbagai komite aksi lokal tidak kenal lelah menentang kandidat mantan militer dan kebangkitan militerisme. Aksi ini bukan hanya terjadi dikota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya dan Medan, bahkan meluas kekota-kota kecil seperti Cianjur, Bogor, Cirebon, Pekalongan, Salatiga, Purwekerto, Madura, Jambi, Bengkulu, Lampung, NTB, NTT, Makassar, Palu, Manado, Kendari, Bali, Banjarmasin, Pontianak bahkan hingga ke Ternate.
Isu anti Militerisme juga merebak sehubungan dengan pembahasan RUU TNi di DPR RI. Sejak DPR membahas dan berniat mengesahkan RUU TNI reaksi keras dilakukan oleh berbagai aktivis gerakan Ham, demokrasi, intelektuil, gerakan mahasisiwa, organisasi rakyat diberbagai penjuru Indonesia. Di Jakarta sekitar 82 ornganisasi membentuk Koalisi Untuk Keselamatan Masyarakat Sipil (KUKSM).
Dalam seruanyya dikatakan “ Menolak RUU TNI yang sedang dibahas di DPR karena substansi didalamnya akan menjadi ancaman besar bagi keberlangsungan proses demorkatisasi, dimana fungsi social dan politik (Dwifungsi TNI) dalam kaitannya dengan Koter dan fungsi kekaryaan, akan dipemanenkan dan dilegalkanâ€. Aliansi yang cukup luas juga terbentuk dan menamakan dirinya Barisan Oposisi Rakyat. Barisan ini merupakan gabungan dari beberapa elemen, di antaranya Ikatan Putra Nahdlatul Ulama (IPNU), Partai Rakyat Demokratik (PRD), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Komite Mahasiswa Antikorupsi, dan berbagai ormas pemuda dan mahasiswa. Demonstrasi yang cukup besar juga dilakukan di DPR RI oleh Aliansi Anti Militerisme yang terdiri dari unsur mahasiswa radikal seperti Forum Kota, Rakyat Timur Bergerak, Front Nasional, Markas, Forum Peduli Untar dan Amanad Universitas Bung Karno.
Semua aksi-aksi anti militerisme dan capres militer tersebut merupakan sebuah tabungan politik yang akan sangat berguna bila hasil paling jelek harus ditelan dalam pemilu capres yaitu terpilihnya seorang presiden dengan latar belakang militer.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar