Wawancara Budiman Sudjatmiko :
Silakan Hukum Saya 15 Tahun, atau Hukuman Mati Sekalipun..."Majalah Tempo Edisi 09/02 - 03/Mei/97
BUDIMAN Sudjatmiko divonis 13 tahun penjara. Anak Cilacap yang hampir berusia 27 tahun itu, jika tak mendapat pengurangan hukuman, artinya ia akan bebas menjelang usianya ke-40 tahun nanti. Ketua Umum Partai Rakyat Demokratik itu dipersalahkan memutarbalikkan fakta tentang pemerintah Orba, menghimpun gerakan buruh, membentuk PRD, dan tidak mengakui Pancasila sebagai satu-satunya asas.
Vonis berat itu disambut dengan kritik pedas oleh jebolan ekonomi pembangunan UGM Yogyakarta itu. Budiman dan juga 11 orang aktivis PRD lainnya, sudah sejak persidangan memasuki babak-babak akhir, menyatakan boikot. Vonis pun dibacakan tanpa kehadiran anak muda itu di ruang sidang gedung pengadilan.
"Proses pengambilan keputusan pada pengadilan ini sama sekali tidak fair," kata Budiman Sudjatmiko kepada Iwan Setiawan dan Mustafa Ismail dari TEMPO Interaktif yang mewancarainya di penjara Salemba, Rabu (23/4) lalu -- lima hari sebelum vonis 13 tahun dijatuhkan padanya. Berikut petikan wawancara dengan Ketua Presidium Sementara KPO PRD (1995) dan Ketua Umum PRD sejak 1996 ini :
Apakah mosi tak percaya pada pengadilan itu merupakan strategi politik PRD untuk tetap melawan?
Begini. Ada prasyarat obyektif dan subyektif dalam suatu pengambilan keputusan. Secara obyektif proses peradilan ini sejak awal memang tidak adil, juga saat proses penangkapan kami. Kedua, ada prasyarat subyektif yaitu bagaimana respon kita terhadap sesuatu yang tidak adil ini. Tindakan perlawanan ini juga dipicu oleh kasus yang menimpa kami. Hal itu juga merupakan strategi kami menghadapi persidangan politik seperti ini. Pada hakekatnya persidangan itu tidak layak kami ikuti, karena sejak awal pihak hakim dan jaksa telah merusaknya. Secara makro, kami ingin menunjukkan bahwa pada hakikatnya yang diadili pada kasus ini adalah perbedaan pendapat. Setiap persidangan politik, pada hakikatnya mengadili perbedaan pendapat, padahal seharusnya perbedaaan pendapat tidak bisa diadili.
Jadi seharusnya bagaimana?
Seharusnya pemikiran-pemikiran yang berkembang ditampung dalam institusi-institusi yang demokratis. Juga dilakukan regulasi-regulasi politik, bukannya regulasi hukum. Regulasi politik seharusnya diperbaiki, jadi bukannya kami dikenai suatu regulasi hukum. Misalnya, dengan dicabutnya paket lima undang-undang politik, lebih dilonggarkannya MPR-DPR, dan kebebasan berorganisasi di mana perbedaan pandangan harus terakomodasi.
Aturan (regulasi) politik mana yang penting menurut Anda?
Kebebasan mendirikan partai politik dan kebebasan untuk mengikuti pemilu. Seharusnya parpol itu diberi wadah, minimal harus didengarkan, kalau tidak, ya, dipertimbangkan, untuk dipakai sebagai salah satu variabel pengambilan keputusan dan dijalankan.
Bagaimana jalannya sidang Anda, adakah diterapkan asas praduga tak bersalah?
Tidak. Sejak awal kita sudah dituduh dalang peristiwa 27 Juli 1997. Menko Polkam Soesilo Soedarman, Syarwan Hamid, dan Soeharto sendiri sudah ngomong demikian. Itu artinya, sebagai manusia hak-hak saya sudah tidak dihargai lagi sejak awal kasus ini.
Anda anggap pengadilan ini melanggar aturan?
Seperti yang telah saya katakan pada penuntut umum di pengadilan, bahwa sejak awal pengadilan sudah melanggar aspek yuridis pada pemeriksaan kasus ini. Oleh karena itu silakan hukum saya 15 tahun, atau 20 tahun, atau hukuman mati sekalipun. Bukan berarti itu buruk bagi kami, itulah kehormatan yang tertinggi bagi kami. Oleh karena itu saya katakan, tolong hukum kami dengan telanjang dan adili secara jujur dan jangan coba sekali-kali memberi jubah konstitusi atau yuridis terhadap apa yang sebenarnya tidak kami lakukan. Pengadilan ini sekedar memberi selubung yuridis yang sejak awal dirancang untuk menjebak dan memukul kami.
Berarti Anda akan pasrah menerima keputusan hakim?
Itu lain persoalannya. Kita memang tidak bisa berharap banyak bahwa keputusan yang akan diambil pada proses pengadilan tingkat ini adil. Tetapi kita masih tetap percaya pada MA. Bahkan tim penasehat hukum kita masih ke MA untuk meminta fatwanya, tetapi ternyata fatwa itu belum turun dari MA dan proses persidangan tetap dijalankan.
Kita melihat proses yang terjadi pada persidangan kami di tingkat pengadilan negeri itu sudah tidak adil. Oleh karena itu, sejak awal hasilnya dapat diramalkan pasti tidak adil. Kita memang mencoba untuk tidak apriori. Kita bisa saja sejak awal menolak disidangkan. Tapi kita memilih mengikuti proses itu. Di lapangan kita pun membuktikan bersama-sama, dengan disaksikan oleh rakyat bahwa ternyata benar proses itu tidak fair. Sehingga kami punya cukup alasan untuk menolak persidangan pada tingkat ini.
Apakah akan naik banding ke pengadilan tinggi?
Permasalahan apakah nanti akan banding atau tidak, ya itu persoalan nanti. Proses pengambilan keputusan pada tingkat sekarang ini sama sekali tidak meyakinkan kami bahwa ini cukup adil. Masalah saksi misalnya, kita dikasih jatah empat sementara jaksa menghadirkan sampai 40 orang lebih. Saksi pihak kamipun hanya baru dipenuhi tiga orang. Kita minta satu lagi, tidak bisa. Pembelaan yang saya sampaikan kepada pengadilan tidak bisa membantu, sebaliknya dengan penasihat hukum saya.
Lalu apa yang akan Anda lakukan selanjutnya?
Ya, nanti akan kita bicarakan dengan teman-teman apakah kita akan menggunakan hak banding atau tidak. Tapi yang jelas, kami tidak akan datang di ruang persidangan. Kalaupun kita dipaksa masuk ke ruang sidang, kita akan keluar lagi.
Sejak kapan Anda melihat pengadilan ini tidak adil?
Sejak mulai pembacaan tuntutan. Meskipun hal itu saya rasakan sudah lama. Kita catat satu per satu. Tapi mencapai klimaksnya ketika tuntutan dibacakan. Itu jelas melewati hak saya untuk diperiksa sebagai terdakwa, kemudian melewati hak saya untuk memeriksa barang bukti. Soal barang bukti ini saya tidak pernah diberikan kesempatan. Ada sekian ratus barang bukti dalam berkas. Tapi selama ini hanya ditunjukkan satu-satu, saya kira tidak sampai 10 barang bukti. Padahal kita minta diberi waktu satu hari untuk pemeriksaan barang bukti tersebut. Belum tentu semuanya itu ada dalam tuntutan. Jaksa mengambil satu barang yang kemudian dimasukkan ke dalam berkas yang tidak pernah ditunjukkan pada saya. Bagaimana saya bisa mengetahui apakah ini barang saya atau bukan.
Apakah barang bukti itu ditunjukkan ?
Tidak. Itu tidak pernah ditunjukkan pada saya. Tapi kemudian muncul dalam surat tuntutan.
Kapan pembacaan tuntutan untuk Anda?
Tanggal 14 April 1997. Tapi tidak pernah ada pemeriksaan barang bukti. Bahkan hak kita untuk mendapatkan tambahan saksi ahli tidak dikabulkan. Demikian pula hak untuk memberi keterangan sebagai terdakwa, juga tidak diberikan.
Kapan saksi ahli itu diajukan?
Tanggal 10 April 1997. Saya bersedia diperiksa sebagai terdakwa, tapi tolong diperiksa juga saksi ahli yang sudah hadir.
Apa alasan mereka menolak?
Kita tidak bisa menghadirkan pada minggu kemarin. Karena memang saksi sedang berada di luar kota.
Siapa saksi itu?
Waktu itu ada beberapa alternatif. Ada Vedy R. Hadiz, ada Arief Budiman. Yang hadir pada tanggal 10 April itu adalah Vedy R Hadiz, dia ahli perburuhan dan peneliti pada Murdoch University, Australia. Jadi dia bolak-balik dari Australia ke Indonesia.
Arief Budiman dihadirkan dalam kapasitas sebagai apa?
Arief Budiman kita mintakan sebagai ahli masalah gerakan sosial. Arief Budiman mencoba melihat fenomena gerakan PRD.
Kapan mulanya Anda melakukan mosi tidak percaya terhadap pengadilan?
Saya tidak tahu persis. Tapi ini muncul sebagai protes kami yang sangat keras. Sejak awal penangkapan, proses pembentukan opini publik terhadap kami sudah sangat jelas rekayasanya. Pemerintah sepertinya tak tahu malu lagi, mereka merasa tak perlu mengkoreksi ini. Mereka begitu saja mengubah tuduhan dari 27 Juli ke komunis, dari komunis ke merongrong Pancasila. Semuanya berjalan begitu saja, tanpa adanya suatu koreksi. Itu secara politik. Secara hukum jelas, jaksa tidak pernah menjelaskan perbuatan apa yang sesungguhnya kami lakukan yang dianggap sebagai bukti permulaan yang cukup untuk menangkap kami. Kami ditangkap, kemudian ditekan secara fisik dan psikis, dan mereka minta apa saja dari kami. Apa yang keluar dari pemeriksaan itulah yang dijadikan bukti.
Jadi perbuatan yang Anda lakukan itu tidak pernah disebutkan?
Tidak pernah disebutkan, apakah mendirikan PRD, aksi bersama buruh, atau mendalangi kerusuhan 27 Juli? Tidak pernah disebutkan.
Bagaimana proses pergeseran tuduhan dari dalang Peristiwa 27 Juli hingga menyelewengkan ideologi Pancasila?
Saya sendiri tidak tahu persis bagaimana bergesernya. Karena waktu itu memang saya dalam perburuan. Saya dalam pengejaran sehingga sulit mendapat akses ke media massa. Tapi pada waktu kami ditangkap, yang dikumandangkan bahwa saya dalang peristiwa 27 Juli, dan itu adalah komunis. PRD adalah komunis. Kemudian saya ditangkap di Badan Intelejen ABRI (BIA), saya tidak pernah dapat informasi apa-apa selama seminggu. Saya dipres, ditekan. Sampai hal-hal yang paling tidak punya relevansi, tentang keluarga saya, tentang masa kecil saya, dikait-kaitkan. Siapa manusia yang sempurna sih? Sehingga kemudian mereka melihat ada hal yang tidak sempurna dari masa lalu saya, diambil dan dianggap punya hubungan langsung dengan Peristiwa 27 Juli. 'Kan mengada-ada sekali.
Misalnya?
Misalnya waktu saya SMA. Saya pernah membuat kelompok diskusi. Saya pernah dipanggil Kaditsospol karena bikin kelompok diskusi itu. Waktu itu saya mengirim surat, saya mengutip disertasi Soe Hok Gie, dia bicara kelompok-kelompok diskusi pada tahun 40-an. Diantaranya bernama Marx House, apalah. Waktu itu kebiasaan saya kalau saya menulis surat tidak sekedar menuliskan sesuatu berdasarkan apa adanya. Saya sering pakai gaya bahasa pars pro toto, satu bagian kecil untuk menerangkan semua. Saya bicara yang perlu kita bentuk adalah Marx House, misalnya seperti itu. Sebenarnya yang saya ingin katakan yang perlu kita dirikan adalah suatu kelompok diskusi. Hanya Marx House itu pernah menjadi predikat suatu kelompok diskusi. Saya pakai itu sebagai misal. Konteksnya yang kita butuhkan sebagai generasi muda adalah sebuah Marx House yang lain. Tidak berarti kelompok diskusi saya namakan Marx House.
Itu 'kan sangat gegabah. Itu dianggap sebagai fakta bahwa saya akan mendirikan Marx House atau lembaga marxisme. Itu didapat dari Kaditsospol Bogor yang dikumpulkan oleh jaksa. Pada surat tuntutan jaksa, ada yang memberatkan bahwa, terdakwa sejak mudanya tertarik pada marxisme sehingga pola pikir terdakwa selalu benci pada orde baru dan tidak pernah melihat hasil-hasil positifnya. Jadi pikiran saya mau diadili hanya karena saya pernah punya ide seperti itu. Celaka sekali. Apakah karena dulu pernah bolos sekolah lalu dihubung-hubungkan sekarang saya jadi pemberontak. Kan celaka sekali.
Tuduhan untuk Anda?
Tuduhan terhadap saya adalah merongrong, menyelewengkan ideologi negara. Jadi Undang-undang Subversif Pasal 1 ayat 1 angka i huruf a. Itu yang primer. Kami langsung dikenakan pada primernya.
Apa indikasi-indikasi yang mendukung betul bahwa pengadilan telah merekayasa proses tersebut?
Pertama, saksi-saksi pada faktanya adalah saksi meringankan. Tidak ada yang memberatkan, minimal netral. Padahal itu dihadirkan jaksa. Jadi hampir 40 saksi itu faktanya rata-rata meringankan. Mereka itu para buruh, orang Depnaker. Kemudian jaksa dalam tuntutannya, untuk memberatkan, tidak mengutip saksi-saksi yang mereka hadirkan sendiri. Justru yang dipakai adalah keterangan-keterangan saksi dari antara kita sendiri, sesama tahanan yang dibacakan, yang sebenarnya sudah kami cabut. Karena saya tidak mau jadi saksi mereka, itu hak saya.
Waktu Anda dimintai keterangan di BIA apakah hal itu juga dipakai?
Waktu di BIA tidak jelas siapa yang memeriksa. Tapi itu banyak dipakai juga. Pertama, dikatakan pikiran saya Marxis sejak awal. Kedua, keterangan-keterangan saya yang dipakai adalah sebagian besar atau semuanya dari saksi di antara kami sendiri yang sudah kami cabut (saksi mahkota). Tapi nampaknya jaksa tidak peduli. Sebenarnya sebagai sesama terdakwa kita boleh tidak memberi keterangan.
Apakah pengadilan bertanya mengapa Anda mencabut keterangan?
Alasannya, pertama, karena kami belakangan baru tahu hak-hak kami sesuai Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Kedua, jaksa tampak enggan sekali menghadirkan saksi-saksi yang meringankan kami. Padahal untuk kasus Oki mereka bisa menghadirkan dari Amerika, Kasus Bintang bisa mendatangkan dari Jerman. Sekarang soal saksi ahli untuk Dita Sari, Coen Husein, Soleh (tiga aktivis PRD yang disidangkan di Surabaya), yang ada di bawah kekuasaan mereka, mengapa tidak dihadirkan di Jakarta.
Alasan hakim, karena para saksi ahli itu sedang dihadirkan untuk sidang di Surabaya. Lho, itu 'kan masalah koordinasi. Ada yang mis-koordinasi di tangan kejaksaan jangan kami yang dirugikan. Justeru waktu itu, saksi-saksi dari Jakarta yang mau dibawa ke Surabaya. Katanya Kurniawan dan Suroso (aktivis PRD di Jakarta) tidak bisa dihadirkan, padahal mereka berdua sudah menyatakan bersedia hadir ke Surabaya. Akhirnya mereka membacakan BAP saksi. Padahal semua keterangan sudah kami cabut, tapi tetap dimuat.
Ketiga, Jaksa Agung Singgih pernah mengatakan pengadilan-pengadilan politis harus sudah selesai sebelum kampanye. Ini apa maksudnya. Seolah-olah mengejar target. Seolah-olah pengadilan bukan tergantung pada proses internal dynamic dari proses persidangan itu sendiri, tapi dari suatu proses persidangan non yuridis alias peristiwa politik. Seolah-olah kita dikejar waktu untuk mencari pembenaran-pembenaran materil. Berarti sangat sewenang-wenang.
Apa Anda tidak rugi sendiri dengan mosi tidak percaya itu?
Kita sudah yakin keputusan yang diambil hakim tidak adil. Karena prosesnya sudah cacat. Nanti kita perkarakan lagi. Pada level ini kita sudah yakin, ini tidak adil. Di Pengadilan Tinggi atau MA akan kita usahakan lagi.
Apakah tidak ada jalan lain?
Pertama, ini contoh terakhir dari sekian banyak kasus politik yang sudah terjadi. Sebenarnya bisa dengan segala pembuktian seluruh proses persidangan politik di Indonesia, kami dulu bisa saja menolak untuk diadili. Bisa saja ketika kami dibawa ke pengadilan pada waktu pembacaan dakwaan pertama, kami tidak perlu diberikan saksi. Kami dulunya punya rencana seperti itu. Namun kemudian, itu tampak apriori. Sekarang kita ikuti secara langsung dan kita ingin rakyat mengikuti proses pembuktian kami. Dan pada akhirnya, di penghujung jalan ini semua bukti sudah kami buktikan. Minimal kami sudah mencoba taat hukum. Ternyata ada sejumlah bukti permulaan yang cukup untuk mengatakan sidang tidak adil. Sesuatu yang tidak bisa dilaksanakan jaksa ketika menangkap kami adalah tidak bisa menunjukkan apa perbuatan kami. Bukti dan fakta sudah cukup, sehingga itu kami putuskan.
Kami mendengar, dari dalam buipun Anda masih akan melawan, antara lain dengan memboikot pemilu. Bagaimana caranya?
Satu hal yang jelas, teman-teman yang masih di luar akan bergerak. Mereka itu adalah Komite Pimpinan Pusat (KPP) PRD.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar