Sabtu, 21 Desember 1996

Kami akan didengar oleh Sejarah


"Kami Akan Didengar oleh Sejarah"*


Ketika muncul pertama kali di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis, 12 Desember lalu, ada seloroh untuk Budiman Sudjatmiko, "Wah, Budiman sudah tidak berwajah komunis lagi." Ketika itu, Ketua Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang mengenakan kemeja putih dan celana panjang gelap itu menampakkan wajah putih bersih. Tidak seperti pada penampilan biasanya ketika Iko, demikian pria kurus berkacamata minus itu dipanggil, memimpin demonstrasi-demonstrasi: berkeringat, merah, terbakar sinar matahari. Mungkin demikianlah asosiasi tersebut.

Budiman "wajah komunis" yang dimaksud gurauan itu, 26 tahun, bersama dengan teman-temannya di PRD ditahan atas dasar tuduhan sebagai dalang Insiden 27 Juli. Tapi, dalam proses penyelidikan, malah pertanyaan-pertanyaan tidak mengarah ke insiden itu sendiri. Karenanya, sudah bisa ditebak kalau pengadilan terhadap Budiman dan kawan-kawannya memang hanya politis. "Proses ini bukan proses hukum, tapi proses politik," kata Budiman.

Berikut wawancara Budi Nugroho dari D&R dengan Budiman Sudjatmiko, ketika ikut bersama orang tua Iko menjenguk di Rumah Tahanan Negara (Rutan) Salemba, sehari setelah sidang pertama.


Apa kegiatan Anda sehari-hari kini?

Di Rutan Salemba, saya belum melakukan apa-apa, masih berbenah kamar.
Apakah Anda akan menyusun pledoi sendiri?
Ya, saya merencanakan akan menyusun pembelaan sendiri.
Anda berada di mana ketika terjadi pengambilalihan kantor DPP PDI, 27 Juli lalu?
Saya waktu itu makan dengan teman. Waktu itu, saya berencana pergi ke Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta karena ada diskusi Majelis Rakyat Indonesia. Lokasi saya makan memang tidak terlalu jauh. Jadi siang itu, pas terjadi bentrokan, saya melihat massa berlari ke arah LBH dan Jalan Salemba. Saya juga melihat pasukan berusaha mengepung kantor LBH. Melihat itu, saya keluar, menuju kantor Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU), yang terletak di kawasan Kramat. Di sana, saya bertemu dengan teman-teman sampai sore.
Ada yang menduga, penyusunan buku Menuju Demokrasi Multipartai Kerakyatan melibatkan orang luar PRD....
Saya adalah salah seorang penyusun, kemudian Anom Astika, Andi Arief, dan beberapa teman lainnya. Itu program PRD. Kami enggak mungkin melibatkan orang lain. Untuk sumber teoritis, wajar kalau kami memakai kutipan atau referensi pendapat ahli yang banyak juga beredar di masyarakat. Kami banyak belajar dari majalah Prisma tahun 1980-an, saat banyak menulis tema sosial, politik, dan ekonomi Indonesia mutakhir.

Tugas saya dan teman-teman lebih pada perumusan redaksional; sedangkan pokok-pokok pikiran sudah lahir dari proses diskusi panjang yang sudah kami awali setelah kepemimpinan beralih dari Sugeng Subagyo.

Sudahkah Anda punya rencana masa depan, apa pun putusan pengadilan nanti?
Seandainya PRD tidak dilarang dan bila tetap dikehendaki oleh teman-teman, saya akan tetap memimpin PRD. Komitmen perjuangan saya tidak akan berubah, tapi itu semua tergantung situasi politik.
Bagaimana dengan rencana pribadi?
Untuk pribadi apa, ya? Kawin mungkin, ha-ha-ha.... Saya enggak punya rencana pribadi, saya masih belum terlalu membayangkan bagaimana mendudukkan hal itu. Dalam agenda saya, yang ada adalah apa yang harus saya lakukan dengan PRD.
Apakah Anda masih berniat melanjutkan studi?
Ya, mungkin akan saya coba. Kalau ada waktu, saya dengan beberapa teman mau mencoba, entah di Universitas Terbuka atau program jarak jauh.
Di bidang apa?
Saya pikir, karena saya masih butuh banyak referensi, mungkin saya mengambil spesialisasi di bidang tertentu. Satu hal yang membuat saya pribadi tertarik pada kasus PRD ini karena saya banyak belajar tentang hukum, bagaimana proses ketika saya diperiksa sebagai saksi dan segala macam.

Saya melihat sebenarnya profesi hukum kalau digunakan secara baik akan sangat banyak membantu proses perjuangan demokrasi. Mekanisme hukum yang baik yang ternyata menjadikan proses demokrasi yang sebenarnya diterima secara konvensional, ditafsirkan secara sewenang-wenang.

Komitmen saya, kalau kita melihat ukuran hukumnya, saya yakin potensi-potensi politik yang ada dalam masyarakat kita bisa mendapat perlindungan hukum, sehingga tidak harus satu proses politik ditindak di luar batas kewajaran. Dengan demikian, kalau hukum memberikan kepastian, saya yakin situasi politik kita akan sangat sehat sekali. Barangkali, yang kami alami, opini yang terbentuk di masyarakat tentang kasus kami itu justru karena memang tidak pastinya hukum. Sejak awal, kami dituduh sebagai dalang Kerusuhan 27 Juli. Tapi, sampai pemeriksaan ternyata tidak banyak ditemukan pertanyaan tersebut. Tudingan-tudingan yang seharusnya hanya boleh dikeluarkan dalam suatu vonis pengadilan sudah dituduhkan terlebih dahulu. Hal tersebut menyebabkan proses politik yang ada tidak muncul secara wajar, opini politik yang muncul di masyarakat juga tidak muncul secara wajar. Sebab, semuanya telah terdistorsi oleh adanya pernyataan-pernyataan yang mendahului keputusan hukum.

Jadi, pengalaman apa yang Anda petik dari Peristiwa 27 Juli?
Manfaat positifnya satu saja. Terus terang saja, sejak meletusnya Peristiwa 27 Juli, saya berpikir, gerakan prodemokrasi di Indonesia masih harus melakukan evaluasi. Pada saat kesadaran rakyat sudah cukup kritis, karena tidak ada penyaluran, tidak ada lembaga yang cukup mampu membawa suara rakyat, akhirnya artikulasi politik mereka ditunjukkan dengan tindakan-tindakan anarkis. Seandainya rakyat sudah terdidik secara politis, mereka terbiasa berorganisasi dan berdialog, tidak akan terjadi pembakaran-pembakaran seperti itu.
Kepala Staf Sosial Politik ABRI Syarwan Hamid menilai PRD sebagai organisasi yang meniru Partai Komunis Indonesia (PKI), melihat struktur organisasinya....
Ya, kalau Syarwan Hamid bicara jajaran PRD mirip PKI, saya ingin katakan juga Golkar itu, kalau pakai cara berpikirnya, strukturnya juga sama dengan PKI. Karena apa? Di sana juga ada ormas buruhnya, ada Setral Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia, ada Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong, ada Himpunan Wanita Karya. Itu kalau kita mau ikut cara berpikirnya Syarwan Hamid, tapi saya enggak mau ikut cara berpikirnya Syarwan. Saya mau katakan bahwa yang Golkar lakukan dan yang PRD lakukan itu adalah sesuatu yang konvensional, itu format standar organisasi kepartaian yang sudah diterima di seluruh dunia. Suatu organisasi serikat buruh untuk memiliki organisasi mahasiswa tidak harus beraliran komunis. Di Eropa banyak serikat buruh yang beraliran Kristen-demokrat dan didukung partai kristen demokrat. Di Indonesia, Majelis Syura Muslimin Indonesia dulu punya, serikat buruh sendiri, NU juga punya serikat buruhnya sendiri, Partai Nasional Indonesia juga punya, PKI juga punya organisasi massanya sendiri. Itu semua format yang wajar dalam politik. Yang tidak wajar adalah justru sistem kepartaian di Indonesia.
Lalu, soal asas sosial-demokrasi-kerakyatan sebagai ideologi PRD? Mengapa bukan Pancasila?
Bagi kami, Pancasila sebagai ideologi negara sejak awal kelahirannya dimasukkan untuk pemersatu yang mengutamakan kemajemukan masyarakat Indonesia. Yang kami lakukan adalah mencoba mengembalikan dalam konvensi yang telah diterima banyak orang. Artinya, Pancasila sebagai ideologi universal, sebagai ideologi yang terbuka, bisa ditafsirkan oleh perkembangan aliran-aliran politik dan perkembangan politik di masyarakat.

PRD mengambil asas sosial-demokrasi-kerakyatan karena asas tersebut memahami bahwa PRD lahir dari suatu masyarakat yang mengalami industrialisasi yang memunculkan kelas buruh, kesenjangan sosial. Hal itu mengakibatkan perlunya perubahan proses pembangunan. Harus terjadi program pembangunan yang berorientasi kerakyatan sebagai poros strategi. PRD adalah partai yang berorientasi kepada program, sehingga kami lebih mengacu pada sejauh mana kemampuan kami merespons aspirasi masyarakat.

Jadi, lahirnya PRD dengan asas sosial-demokrasi-kerakyatan sebenarnya bukan untuk menyia-nyiahan Pancasila, tapi lebih pada operasionalisasi partai sebagaimana disebut dalam program-programnya, untuk menangani ekses-ekses pembangunan.

Perkembangan organisasi dan keanggotaan PRD sampai saat ini?
Setelah kongres, kami belum sempat melakukan pendataan. Tapi, sudah mulai terbentuk care taker di heberapa daerah, seperti di Jawa Tengah, Jawa Timur, Yogyakarta, Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi, Sulawesi Utara, dan Sulawesi Tengah. Yang terdaftar sebagai peserta yang punya mandat suara dalam kongres ada 107 orang. Jumlah itu diharapkan bisa men-support berdirinya kepengurusan daerah di cabang-cabang.
Bagaimana pendapat Anda tentang hakim yang mengadili kasus-kasus politik seperti kasus PRD ini?
Hakim di Indonesia berada di bawah kekuasaan eksekutif. Itu sudah menunjukkan satu indikasi yang jelas bahwa kekuatan pengambilan keputusan hukum dalam pengadilan berada di bawah otoritas kekuasaan eksekutif. Dari situ sudah ditunjukhan tidak terpenuhinya asas-asas sebagai negara hukum.

Untuk kasus-kasus yang berlatar belakang politik, apalagi yang dituduh antipemerintah, sulit kita mengharapkan adanya peradilan yang fair karena hakim berada di bawah otoritas kekuasaan yang secara langsung terlibat dalam proses politik itu. Saya pesimistis pengadilan ini akan menjadi suatu peradilan yang fair. Karena itu, kami menyadari yang terjadi dalam proses ini sebenarnya bukan proses hukum, tapi proses politik. Karena ini proses politik, ukuran-ukurannya menjadi sangat kabur. Karena, kebenaran politik itu kan ditentukan oleh kekuasaan, oleh power. Karena itu, saya enggak berharap banyak dari pengadilan ini. Tapi, saya bisa berharap banyak bahwa kami akan didengar oleh sejarah. Biarlah kebenaran dan kesalahan ditentukan oleh sejarah.

*)D&R, 21 Desember 1996