Senin, 28 April 2008

Pemimpin Harus Berani Memutuskan Masalah

BUDIMAN SUDJATMIKO: "PEMIMPIN HARUS BERANI MEMUTUSKAN MASALAH"
admin | Diskusi | 28-04-2008 www.psik.demokrasi.org

"Pada saat itu kami hanya merasa perlu ada orang yang sanggup mengatasi ketakutannya, berteriak untuk memastikan di mana posisinya, dan jika dimungkinkan ia memanjat pohon tinggi agar dapat melihat kawan-kawannya yang lain, yang sama-sama tersesat." Perumpamaan inilah yang dikatakan oleh Budiman Sudjatmiko, mantan Ketua Umum Partai Rakyat Demokratik (PRD), untuk menggambarkan perlawanannya terhadap rezim Orde Baru. Selain itu Budiman banyak bercerita kepada PSIK Universitas Paramadina, Deni Agusta dan Lukman Hakim, mengenai alasan-alasan terhadap pilihannya menjadi aktivis pro-demokrasi dan melawan rezim otoriter Orde Baru di kediamannya pada 10 April 2008 silam. Berikut pandangannya.

Di zaman Orde Baru Mas Budiman dikenal sebagai tokoh muda yang kritis. Kalau boleh tahu, apa yang melatarbelakangi sikap Mas Budiman itu?

Sebagai orang muda yang bergaul dengan banyak kalangan termasuk dengan masyarakat bawah, kalangan intelektual, aktivis (yang masih mahasiswa maupun yang sudah bukan mahasiswa lagi di kampus), dan kebetulan juga saya bisa mengakses banyak buku dan lainnya. Dengan banyaknya informasi itu, menyebabkan saya tahu betul persoalan di negeri ini, baik itu informasi melalui buku, literatur atau juga melalui diskusi dan juga dengan masyarakat bawah itu.

Informasi-informasi itu memberi saya bekal dan referensi untuk saya bersikap. Berbagai pengetahuan yang saya peroleh mengenai ekonomi, sosial, budaya dan politik akhirnya membentuk sikap politik saya saat itu. Kemudian persoalannya adalah bagaimana menuangkan pikiran-pikiran dan sikap-sikap politis itu melalui kegiatan yang tidak melulu akademis seperti diskusi dan segala macam. Saya merasa bahwa kita mesti belajar dari sejarah bangsa ini dan juga dari sejarah bangsa-bangsa lain: rasa-rasanya kita membutuhkan perubahan dengan memadukan antara sikap kritis secara ilmiah sekaligus sikap politik secara tegas. Dengan demikian timbullah sikap kritis itu. Selanjutnya sikap itu saya ikuti dengan maksud mengambil sikap oposisi terhadap bangsa ini.

Kira-kira program-program seperti apa yang dijalankan oleh Orde Baru pada saat itu yang patut mendapat kritik?

Pertama, yang saya lihat adalah soal kesenjangan ekonomi: soal kemiskinan rakyat, terutama bagi mereka yang punya dan yang tidak punya, karena kemiskinan dianggap (dalam definisi) pada saat itu adalah kultur, terjadi akibat mentalitas budaya malas. Saya rasa tidak ada kaitan soal kemiskinan dengan kemalasan. Pengalaman sehari-hari menunjukkan tesis itu tidak melulu korelatif dengan kenyataan di lapangan. Para petani tetap miskin, walau seharian bekerja di bawah terik matahari. Para buruh tetap mendapatkan upah yang minim, walau sedari pagi hingga petang berpeluh masam bekerja di dalam pabrik dan lain sebagainya.

Di lain pihak saya melihat kesenjangan antar kota dengan desa semakin luas. Ini juga sempat mengusik nurani saya. Saya memahami tidak ada kebebasan pers di masa Orde Baru. Kemudian partai politik juga tidak memiliki kebebasan untuk merumuskan program-program politiknya untuk membangun kesejahteraan yang lebih maju dan lebih adil. Lalu saya berpendapat, syaratnya adalah harus ada keterbukaan politik sehingga sistem politik yang otoriter yang menyumbat sekaligus menyisakan banyak orang di dalam keterpurukan itu harus dirubah.

Saya melihat pada awal itu sebagian besar pesimis keadaan bisa berubah. Gejala pesimisme itu terjadi di mana-mana mulai dari kalangan terdidik hingga masyarakat awam. Sebagian bahkan menganggapnya sebagai takdir. Menurut saya ini mungkin disebabkan oleh perasaan ketakutan yang memang disebar oleh rezim saat itu. Selain itu seolah kepesimisan itu cukup masuk akal, karena mesin pemerintah Orde baru saat itu mulai dari aparat birokrasi, intelejen, militer dan lainnya itu begitu memberikan legitimasi terhadap rezim mengenai pentingnya stabilitas atas nama pembangunan. Kalaulah menunggu perubahan, mestinya berasal dari dalam pemerintahan itu sendiri.

Dua kata, stabilitas dan pembangunan, seolah-olah (di saat itu) adalah dua hal yang tidak bisa diganggu gugat. Saya juga percaya pada stabilitas dan saya juga percaya pada pembangunan, tanpa ada stabilitas tidak ada pembangunan. Tapi persoalannya adalah apa yang mesti distabilkan? Pembangunan masyarakat harus dimapankan, tentu bukan pembangunan yang mengakibatkan kesenjangan sosial. Dalam beberapa hal saya memang melihat ada kesadaran dalam masyarakat mengenai sebuah harapan menuju perubahan.

Tapi kadang-kadang kebijakan orientasi pembangunan pemerintah yang seperti itu dilegitimasi juga oleh berbagai kalangan agamawan. Saya belajar dari sejarah bahwa keadaan, ketakutan, ketidakpedulian, pesimisme, kenaifan seperti melihat persoalan ini adalah sebuah tabu. Itu juga bukan problem khas pada zaman saya pada saat itu. Belanda tidak pernah membayangkan bahwa bangsa ini akan menjadi sebuah republik yang dulunya terdiri dari kerajaan-kerajaan dan merdeka menjadi sebuah satu nation-state.

Artinya persoalan ketakutan, pesimisme, kenaifan yang mendominasi segala macamnya itu pernah dialami oleh bangsa ini juga. Tapi bangsa ini berhasil melampauinya, sehingga berhasil menjadi bangsa yang merdeka. Saya tidak pernah menemukan bangsa yang sama, bangsa yang pernah menemukan momentum keberanian untuk melepaskan diri dari penindasan (penjajahan Belanda). Belanda yang telah ratusan tahun berhasil dikalahkan, sedangkan Orde Baru yang cuma puluhan tahun mengapa tidak sanggup? Jadi saya melihat ada optimisme di sini. Pasti ada sesuatu yang bisa dilakukan dan pasti ada orang-orang yang berani: orang-orang yang belum mengambil kesempatan.

Jadi menurut saya, kita harus berani untuk menemukan sejarah bangsa ini. Saya pikir, saat itu yang kritis juga ada, yang mahir juga bahkan sudah ada, persoalannya mereka hanya takut dan ragu. Dari pikiran dan asumsi mereka, apa mungkin bisa dirubah? Mereka tidak berani mengambil resiko terlau tinggi. Artinya bagaimana merubah ketakutan itu menjadi berani, karguan itu menjadi sebuah keyakinan. Saya belajar dari sejarah bahwa katakutan dan keraguan massal seperti itu epidemis dan hanya bisa diobati dengan menghadirkan beberapa figuran untuk menunjukkan bahwa itu tidak berbahaya dan tidak semenakutkan seperti yang dibayangkan.

Tapi kan setiap ada perlawanan terhadap rezim, gerakan itu pasti "digebuk", dipukul mundur?

Betul, bahkan ada yang mati, dibunuh, diculik dan lainnya. Seperti omongan yang mengatakan bahwa "Kamu bisa menipu semua orang untuk sementara waktu, kamu bisa menipu sebagian orang untuk selama-lamanya, tapi kamu tidak bisa menipu semua orang untuk selama-lamanya." Artinya, pengalaman orang beroposisi akan menemukan titik akumulasi perlawanannya. Jadi perlawanan pada generasi sebelum kita harus dilihat jangan ketika mereka dipukul, tapi lihat itu akan menjadi pemicu spirit bagi gerakan perlawanan di periode berikutnya.

Jangan dilihat ketika kita (gerakan oposisi) dihancurkan itu akan hilang begitu saja. Dia akan masuk ke dalam benak kita di tabungan kesadaran yang disimpan di alam bawah sadar masyarakat. Maka tabungan ini harus kita cari di mana brangkasnya, kodenya di mana. Artinya kita cari orang yang atau sesuatu yang bisa kita akumulasi sehingga apa yang kita lakukan pada momen-momen tertentu merupakan sebuah titik kombinasi dari momen-momen sebelumnya.

Kalau kita mengangap ini terpisah sama sekali, maka dia hanya sebuah penggalan periodik yang tidak bisa diubah. Sekalipun psikologi-sosial masyakat terus berkembang, selalu saja menyisakan ruang-ruang kesadaran yang menyimpan satu peristiwa atas peristiwa lainnya. Ruang-ruang ini selalu terkait satu dengan yang lainnya. Namun harus ada orang atau momentum yang merangkai peristiwa-peristiwa itu menjadi sebuah kesadaran kolektif perlawanan sosial terhadap rezim.

Saya kira di sinilah tugas saya dan orang seperti saya bagaimana membuat ruang-ruang privat ini saling berkomunikasi. Maka harus dibangun semacam koridor yang akan menghubungkan antarruang kesadaran itu. Saya menggambarkan kita pada saat itu seperti orang-orang yang tersesat di dalam kegelapan hutan, dan satu sama lain saling terpisah. Kondisinya begitu amat mencekam dan ketakutan. Dalam kondisi itu dibutuhkan seseorang yang sanggup mengatasi ketakutannya sendiri untuk berteriak atau memanjat pohon sekedar menghidupkan sebatang korek api untuk memberitahukan kepada yang lain di mana posisinya dan mengetahui posisi yang lainnya. Artinya harus ada juga yang mengingatkan bahwa mereka tidak sendirian.

Di masa Orde Baru stabilitas terjadi di segala bidang, termasuk ekonomi di mana harga-harga komoditas pokok stabil dan terkontrol, berbeda dengan kini. Ini menunjukkan adanya kepemimpinan yang solid, sama sekali berbeda dengan kondisi saat ini. Pendapat Anda?

Pertama saya tidak mengenal stabiltas, juga tidak mengenal pembangunan. Kita sepakat dengan stabilitas, tapi stabilitas dalam demokrasi, bukan anarki dalam demokrasi di satu sisi, juga bukan stabilitas dalam sistem otoriter yang dibungkus dalam kerangka demokrasi, seperti di masa Orde Baru. Kita tidak boleh jatuh ke dalam ekstrim stabilitas otoriterian maupun anarki demokrasi, tapi stabilitas demokrasi yang terkonsolidasi. Kita tidak boleh terus-terusan berada dalam periode transisi tapi harus masuk ke dalam konsolidasi demokrasi. Dalam konteks itu stabilitas demokrasi tercipta. Kita membicarakan tentang kemampuan yang kuat, artinya kita juga membicarakan tentang sistem yang kuat. Selanjutnya kita berbicara dalam konteks kelembagaan demokratisasi.

Demokrasi bagi saya adalah penguatan sistem dan kelembagaan, bukan sekedar otonomi individu seotonom-otonomnya. Kita bukannya kekurangan otonomi tapi kelembagaan kita begitu lemah sehingga ada individu-individu tertentu yang sangat otonom dan berkuasa, bahkan melampaui lembaga itu sendiri. Pengalaman Orde baru menunjukkan hal itu. Selama rezim Orde Baru berkuasa institusi kenegaraan tidak diperkuat. Yang muncul kemudian adalah kekuasaan individual Soeharto yang kekuasaannya melampaui sistem kepartaian, ketentaraan dan keamanan. Artinya bahwa institusi demokrasi itu harus dibangun untuk memberikan pijakan pada stabilitas demokrasi yang saya maksud itu.

Di masa Orde Baru otoriterianisme terpusat dalam rezim, namun kini sikap otoriterianisme juga mengidap berbagai level kebangsaan seperti di pemerintahan daerah, partai politik dan lain sebagainya. Tanggapan Anda?

Saya juga mengusulkan demokratisasi harus dimulai dari konteks kenegaraan. Sejarah mencatat bahwa selalu saja negara yang memulai praktek otoriterianisme, seperti di zaman Orde Lama dan Orde Baru. Oleh sebab itu agar institusi kenegaraan tidak kembali tergoda menggunakan cara-cara otoriter, maka institusi tersebut didesak untuk menerapkan prinsip-prinsip demokrasi.

Apakah itu akan membawa dampak pada terciptanya demokratisasi di masyarakat? Tidak. Seperti yang Anda katakan bahwa di partai politik mungkin ada otoriterianisme, pemerintahan daerah, kemudian di keluarga, lembaga-lembaga keagamaan, dan pendidikan. Artinya setelah diselesaikan bukan berarti proses tersebut berhenti. Di tingkat negara harus ada penguatan-penguatan lembaga demokrasi itu. Tapi setelah itu diikuti dengan reformasi di tingkat kepartaian, reformasi di tingkat birokrasi, reformasi di tingkat ekonomi yang mengatur kepemilikan modal dan lain sebagainya.

Setelah sepuluh tahun perjalanan reformasi menurut catatan mas Budiman, hal apa yang telah dicapai dan belum berhasil diwujudkan?

Pertama, kita telah berhasil mewujudkan kebebasan pers dan berorganisasi. Itu capaian yang paling penting. Tapi dalam konteks kebebasan itu, sering kali kelangsungan demokratisasi kita terancam. Sebut saja kemunculan kelompok-kelompok radikal dan fundamentalis, misalnya, yang memaksakan pendapat atau kehendaknya kepada publik dengan memanfaatkan kondisi kebebasan ini. Para penumpang "gelap" ini memanfaatkan momentum demokrasi untuk membangun agenda-agenda kepentingan yang sama sekali tidak demokratis.

Kedua, dari sisi pendidikan dan sosial-ekonomi, mungkin ada beberapa capaian yang sudah berhasil ditorehkan. Tapi ada beberapa prinsip yang masih terus diperjuangkan, dalam bidang pendidikan yaitu untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan sosial-ekonomi yaitu menuju kesejahteraan sosial.

Apa yang membedakan kepemimpinan di masa lalu dengan kini?

Garisnya dulu adalah antara otoriter dan demokrasi itu begitu tegas. Tapi ketika kran demokratisasi dibuka, berbagai kalangan bisa bergabung mulai dari maling, bandit, pahlawan, orang suci, orang kotor punya hak yang sama, kira-kira seperti itu. Saya kira orang yang pernah bergulat dengan demokrasi atau orang yang pernah membela demokrasi mestinya lebih punya kesempatan. Artinya, menurut saya yang harus dilakukan dalam struktural adalah bagaimana membuat sebanyak mungkin orang yang memiliki visi bagus pada negara ini dan pada demokrasi bergabung dalam institusi-institusi demokrasi.

Berarti Mas Budiman dalam konteks ini ingin mengatakan bahwa strategi untuk perubahan harus masuk ke dalam?

Pastinya sekarang sudah berubah secara fundamental, dulu otoriter dan sekarang liberal.

Seperti yang Anda katakan bahwa saat ini kita sudah masuk ke dalam iklim demokrasi. Tapi demokrasi belum memberi implikasi pada keejahteraan sosial. Apa yang salah dengan demokrasi kita?

Biasanya demokrasi itu membawa dampak pada kesejahteraan publik. Seandainya tidak terjadi proses demokratisasi di tahun 1998, yaitu Orde Baru bersikeras mempertahankan kekuasaannya, harga-harga sudah lebih dahulu naik, sejak tahun 1997, sejak zaman Soeharto. Kalau harga-harga itu naik kan tidak bisa disalahkan pada demokrasi. Apakah kita bisa mengatakan bahwa pasti harga tidak akan senaik seperti sekarang ini? Atau kita bisa mengatakan bahwa harga tidak naik pasti tidak akan ada kejahatan.

Coba kita bayangkan kalau Soeharto tetap memaksa bertahan. Dengan situasi seperti ini bukan hanya harga yang naik. Menurut saya bangsa ini akan hilang akibat konflik yang dipicu oleh cara rezim mempertahankan kekuasaannya, dan juga cara bagaimana rezim mempertahankan tekanan internasional.

Contohnya anda mempunyai penyakit kanker. Kanker itu sudah mencapai stadium 3. Ketika kanker itu berada dalam stadium 1, harusnya kita sudah mendeteksi sejak awal. Tapi karena sudah terlambat, akhirnya kita ganti dokter. Apakah bisa dikatakan karena dokter baru itulah kanker kita berubah menjadi stadium 3? Cara berpikir kebanyakan dari kita dan juga media massa adalah seolah-olah karena demokrasi maka tercipta kemiskinan dan harga-harga semua naik. Padahal kan kenaikan harga (inflasi) itu sudah terjadi di tahun 1997-1998, di masa Orde Baru.

Dalam proses pergantian rezim itu sesungguhnya ada harapan akan terbitnya fajar kesejahteraan. Akan tetapi problem-problem kemasyarakatan itu tak kunjung berubah, sekalipun rezim sudah berkali-kali berubah. Komentar Anda?

Itu fakta yang kita hadapi kini. Orang yang ikut dengan Soeharto belum tentu demokrat. Orang yang menentang Soeharto pun belum tentu mempunyai idealisme kebangsaan yang melebihi Soeharto. Persoalannya adalah bahwa kekuasaan Soeharto ini membawa banyak korban. Dan para korbannya itu belum tentu datang dari kalangan aktivis pro-demokrasi, bisa jadi mereka yang punya pandangan totaliterianisme ikut menjadi korban kekuasaan Suharto. Bisa dimengerti, karena Pak Harto tidak menghendaki ada figur lain yang bersinar di luar dirinya.

Tapi ketika Soeharto jatuh, semua orang merasa menjadi pahlawan. Padahal di antaranya adalah mereka adalah pelaku penumpasan ekspresi kebebabasan berekspresi dan menikmati hasil korupsi rezim tersebut. Sekarang ini sesungguhnya adalah ujian terhadap orang-orang yang mengaku berjasa atas tumbangnya rezim Soeharto itu. Kita lihat bagaimana mereka memimpin negeri ini, apakah lebih baik atau sebaliknya dari rezim sebelumnya.

Sesungguhnya masih banyak agenda reformasi yang mesti dilakukan. Ketika Orde Baru tumbang, yang lengser hanya Soeharto. Tapi komponen-komponen rezim itu tidak ikut lengser. Mereka tetap berkuasa di birokrasi, militer dan pengadilan. Karena itu kita harus sanggup menciptakan alternatif-alternatif untuk menggantikan mesin kekuasaan masa lalu yang hingga kini masih bercokol di masa reformasi. Inilah yang kita maksud sebagai proses reformasi.

Dalam pengertian itu, saya hendak katakan, bahwa kita tidak boleh berhenti berjuang melawan Orde Baru. Salah satu cara adalah dengan terus memproduksi kata-kata dan makna-makna baru sebagai antitesis dari slogan-slogan yang pernah dibangun oleh Orde Baru. Proses kreatif memproduksi kata-kata dalam konteks reformasi itu menjadi penting bagi pendasaran kita untuk menegaskan demarkasi masa lalu dan kini. Salah satu contoh, hari ini terus terang banyak sekali orang yang berbicara mengenai revolusi ketimbang dulu. Tapi saya tidak melihat kedalaman maknanya seperti kata-kata reformasi atau perubahan yang dulu pernah kami ucapkan di masa lalu. Mestinya kata revolusi memiliki makna tentang perubahan yang radikal dan menyeluruh. Dan mestinya pula, kata itu mendapatkan momentumnya kini, karena kita membutuhkan perubahan. Tapi kita lihat, kata-kata itu bersuara riuh, namun maknanya demikian hening. Saya ingin katakan, bahwa sebuah kata mendapatkan ruh di masing-masing masanya. Inilah yang membuat kita tidak boleh berhenti membangun makna-makna tentang perubahan.

Bagaimana sikap kita sebagai anak bangsa dalam menjaga kedaulatan secara politik dan mandiri secara ekonomi dan bertingkah dalam konteks budaya Indonesia di tengah arus globalisasi dan kepentingan asing atas Indonesia?

Pertama-tama kita bahas tentang ekonominya dulu. Untuk merombak kondisi perekonomian ini kita juga harus merombak mentalitas keberanian pemimpin kita. Yang saya maksud adalah keberanian untuk memutuskan masalah.

Anda melihat ada ketidakberanian yang diidap oleh para pemimpin kita? Tapi kan orang-orang yang berani tidak banyak yang memilih?

Menurut saya, orang-orang yang berani itu tidak cukup memiliki kesabaran membangun institusi. Berani tanpa tanpa kesabaran membangun institusi itu artinya dia nekat. Saya mencoba menghimbau kepada orang-orang yang sudah mempunyai institusi, entah itu di MPR, DPR, Presiden bahwa kekuasaan itu kan sudah di tangan mereka. Saya hendak mengatakan gunakanlah kekuasaan itu dengan keberanian membangun kesejahteraan masyarakat. Tapi yang berani kadang-kadang juga tidak sabar membangun institusi. Akibatnya mereka terpental dari institusi tersebut. Apa pula artinya simbol-simbol kepahlawanan yang disematkan kepada kita karena sebuah keberanian yang dalam pengertian tertentu lebih dekat maknanya dengan nekat.

Pada era Orde Lama, Soekarno menjadikan politik sebagai panglima, kemudian di era Orde Baru ekonomi dijadikan panglima. Untuk hari ini kita mempunyai gambaran yang tidak jelas kira-kira strateginya seperti apa?

Saya melihat hari ini kok realitas yang dominan adalah membangun citra politik: politik keseakan-akanan. Itu saya kira yang kini menjadi panglima. Imagenya baik dan bagus, tapi seperti rumah besar yang bahan bakunya terbuat dari kertas, sangat rapuh. Kepemimpinan kita hari ini begitu artifisial, tidak substanstik. Mereka hanya peka terhadap indera penglihatan dan pendengaran orang. Saya pergi ke daerah misalnya, para aktivis parpol, gubernur, bupati dan walikota hanya sibuk memikirkan image dirinya dan partainya. Pada akhirnya mereka lupa untuk mengurus hal-hal publik yang jika diurus dengan baik bisa membuatnya menjadi tidak populer. Selain itu partai juga terjebak pada politik elektoral mulai dari pemilu, pilpres, pilkada gubernur, bupati, walikota, bahkan sampai kepada daerah. Saya kemudian membayangkan, bagaimana partai-partai itu akan concern terhadap isu-isu kerakyatan, jika dirinya terlalu sibuk mengurus hal-hal demikian.

Jadi menurut saya perlu ada sebuah kualifikasi yang bisa diterima di seluruh kalangan anak muda. Saya percaya bahwa sejarah itu adil. Dan saya percaya dalam setiap generasi akan lahir anak-anak muda yang begitu gigih memperjuangkan rakyat.

Mas Budiman pernah menjadi Ketua Umum Partai Rakyat Demokratik (PRD). Partai itu berisikan anak-anak muda yang kritis, dan militan di dalam memperjuangkan partai politik. Bisa diceritakan kepada kami pengalaman Anda itu selama memimpin partai itu?

Kita membuat PRD tahun 1994 yang kita siapkan untuk menghadapi kemungkinan kalau-kalau Orde Baru akan berkuasa sekitar 20 tahun lagi. Artinya kita mendoktrin diri untuk berjuang pada kurun waktu yang panjang. Tapi Orde Baru jatuh lebih cepat dari yang kita bayangkan. Sementara itu kita tidak mempersiapkan PRD untuk bertarung dalam konteks politik elektoral dalam jangka pendek. Inilah yang menyebabkan kita tidak berhasil dalam merengkuh kekuasaan politik.

Setelah rezim Suharto lengser, memang kita mengalami kegamangan. Kita dulu hanya menyiapkan sebuah pertarungan dengan Orde Baru dalam jangka yang lama. Seandainya Orde Baru berkuasa seperti yang kita bayangkan sebelumnya, mungkin PRD akan menjadi partai besar, yang berisikan anak-anak muda progresif yang melulu melakukan perlawanan untuk perubahan.

Mas Budiman dan PRD dituduh sebagai dalang peristiwa 27 Juli 1996 dan akhirnya bermuara pada penjeblosan mas Budiman ke penjara. Sebenarnya peristiwa itu bagaimana sih?

Peristiwanya sederhana saja, pada waktu pendirian PRD itu kita memang banyak berhubungan dengan orang PDI. Pada waktu Bu Mega terpilih sebagai Ketua Umum PDI di tahun 1993, kita merasa bahwa waktu itu Orde Baru tidak menginginkan Bu Mega menjadi ketua Umum. Pada akhirnya dibuatlah rekayasa politik yang kembali mendudukkan Suryadi sebagai Ketua Umum PDI. Pada konteks Orde Baru seluruh kekuatan politik seluruhnya diatur menurut selera rezim. Namun dengan terpilihnya Megawati sebagai Ketua Umum PDI sesungguhnya menegaskan adanya keretakan konsolidasi politik Orde Baru.

Setelah kita melihat keretakan itu, kita muncul ke permukaan, membangun kekuatan, mengonsolidasikan perlawanan dan lain sebagainya. Dalam konteks itulah mengapa kami sering berhubungan dengan orang PDI terutama di daerah-daerah. Kira-kira kesepakatan kita dengan orang-orang PDI adalah, kalian tetap di PDI dengan terus merapatkan barisan mendukung Megawati dan melawan rezim Suharto. Bahkan di tahun 1994 PRD mendorong Bu Mega menjadi presiden. Ketika Bu Mega digulingkan, kami membangun perlawanan terhadap rezim.

Sejauh mana mas Budiman mengenal pikiran-pikiran Cak Nur? Dan apa kesan Mas Budiman terhadap Cak Nur?

Cak Nur saya kenal langsung pertama kali pada saat saya dan teman-teman berinisiatif mendirikan Komisi Independen Pemantau Pemilu (KIPP) di tahun 1995. Kita meminta Cak Nur untuk menjadi ketuanya. Waktu itu saya dan teman-teman yang muda juga mengajak Gunawan Muhammad dan beliau mengajukan Cak Nur untuk memimpin lembaga itu. Buat kami kehadiran Cak Nur begitu signfikan bagi KIPP. Bagaimanapun kami berharap dari kearifan intelektual Cak Nur dan jaminan dari kelompok Islam.

Bagi saya, keberadaan Cak Nur sebagai tokoh Islam yang modernis menunjukkan bahwa sebenarnya Cak Nur sedang menyelamatkan wajah politik umat Islam dari keterjebakan kemungkinan diasosiasikan sebagai pembela Orde Baru di hari terakhirnya. Sendainya tidak ada Cak Nur, Gus Dur, dan Amien Rais, bisa jadi ekspresi politik umat Islam akan diasosiasikan sebagai pembela Orde Baru, khususnya ketika Pak Harto sudah mulai bergandengan dengan umat Islam, dengan merestui pendirian ICMI .

Tapi sebelumnya kan Orde Baru sangat memusuhi kelompok politik Islam?

Betul, khususnya pada tahun 70-80an. Tapi kemudian tahun 1990an mulai merangkul. Tapi untung saja ada Gus Dur, Amin Rais, dan Cak Nur. Tiga orang inilah yang menarik umat Islam keluar dari ekspresi politik umat Islam yang seperti tadi saya sebutkan. Masuknya Cak Nur ke dalam keluarga besar KIPP, pada satu sisi agar pembentukan KIPP ini tidak dimusuhi oleh sebagian kelompok politik umat Islam yang sudah dekat dengan Orde Baru.

Terima kasih mas Budiman atas kesempatannya.

Tidak ada komentar: