Senin, 25 Agustus 2008
Kamis, 21 Agustus 2008
Apa Kata Mereka Tentang Budiman?
masjarakat. Bayangkan di usia kecil dia sudah mengenal buku "Di Bawah
Bendera Revolusi" -nya Sukarno, jaman kuliah dia tidak seperti
mahasiswa-mahasiswa lain yang hedonis, atau mahasiswa kutu buku yang
intelektualitasnya berjalan di atas awan. Dia belajar sekaligus
bertindak. Di jaman awal Kuliah Budiman dengan tekun mempelajari
semua bentuk susunan masjarakat, sehingga dia menemukan antitesis
dari sistem Orde Baru, yang dia tembak pertama kali adalah
Politiknya. Partai bentukannya Partai Rakyat Demokratik, adalah salah
satu bentuk jawaban atas kegelisahan anak muda yang melihat negaranya
dalam belenggu kekuasaan yang tidak benar. PRD ini bukan saja
didukung anak-anak muda yang bersemangat tapi kaum intelektualitas
yang tidak mau melacurkan diri pada kekuasaan. sebutlah Pram, Gunawan
Muhammad dan belakangan George Junus Aditjondro angkat topi untuk
gerakan ini. Di saat semua orang tunduk dan bersikap oportunis
terhadap Junta Militer Orde Baru, Budiman cs sudah berani tegak
melawan kekuasaan. Dan kelak berani menghuni penjara Orde Baru yang
menghinakan kemanusiaan.
Peristiwa Penyerbuan PDI dibawah komando Buttu Hutapea yang
berkoalisi dengan militer atas suruhan Suharto, telah mencoreng
moreng wajah dungu Orde Baru. Disaat itulah secara tidak sengaja
Rezim Suharto justru membanditkan Megawati dengan tuduhan digerakkan
oleh PKI yang alatnya adalah digunakan PRD sebagai bentuk bukti
rekayasa. Tapi Budiman tidak gentar menghadapi tuduhan itu, ia tidak
seperti para pemuda-pemuda yang terjun di kancah politik karena
Bapaknya, atau sekedar oportunis murahan, tapi Budiman maju dan
berani muncul disaat antitesis dan oposisi diharamkan, disaat orang
seperti Buya Metareum mengatakan logika paling konyol sedunia :
Oposisi loyal. Disaat nyaris semua intelektual Indonesia membeo pada
kebenaran penafsiran Orde Baru. Budiman muncul di permukaan.
Ketika derap langkah reformasi pecah, terus terang gerakan reformasi
diilhami salah satunya oleh keberanian anak-anak PRD,dan gerakan-
gerakan lainnya yang mengikuti. Idealisme Budiman mengilhami generasi
dibawahnya, yang melakukan kritik terhadap Orde Baru dengan praktek,
berani berhadapan dengan moncong senjata. Angkatan 1998, sebuah
angkatan yang lugu terhadap politik tapi berani turun ke jalan adalah
sebuah puncak dari gerakan koreksi anak muda terhadap Orde Baru yang
dimulai pada Gerakan Arif Budiman 1971, Malari 1974, Gebrakan
Presiden Baru Wimar dan Gejolak anti NKK/BKK 1978, Bakar-bakaran ban
menentang Rudini di ITB 1988, Penangkapan aktivis PRD 1996 dan
semuanya berpuncak pada gerakan 1998.
Penyelesaian gejolak politik 1998 mengarah pada sistem kompromi, dan
saat ini sistem kompromi sudah berjalan menuju bentuknya paling
sempurna, ditengah Reformasi yang gagal masih ada kesempatan, yaitu
terciptanya sistem demokrasi yang relatif baik. Di titik inilah
diharapkan para idealis muda mampu memanfaatkan kesempatan untuk
menarik demarkasi, Saya disini, dan Pendosa baik pendosa masa lalu
atau masa kini disana. Garis Demarkasi itu harus jelas. Dan untuk
memimpin front itu harus orang-orang dengan karakter jelas. Disaat
kaum intelektualis, artis dan kaum dunguis berbondong-bondong tinggi
hasrat libidonya untuk meraih jabatan hanya sekedar jabatan bukan
konsep, maka disitulah Perjuangan dimulai untuk menghantam kedunguan
ini.
Seperti dialog Budiman dengan Bung Karno, di kamar kostnya yang sepi
di Yogya, Bung Karno berkata pada Budiman : Beri aku sepuluh pemuda,
maka aku akan goncangkan dunia!" Jelas pemuda yang memahami arah
sejarahlah yang mampu memahami dunia, bukan pemuda yang naik jabatan
sekedar jual nama Bapaknya, jualan intelektualitas, jualan keartisan
atau jualan harta. Konsep arah sejarah Indonesia adalah perjuangan
serius, dan politik bukan ajang spectacle, karena sekali lagi
rakyatlah yang jadi pertaruhan dari ini semua.
Maju Terus Budiman Dan Merdeka!
Anton
Rabu, 20 Agustus 2008
Mari Bertanya kepada diri sendiri
Selasa, 29 Juli 2008
Tentang Blog Ini
Jika Anda ingin memberikan tanggapan pada salahsatu tulisan di dalam blog ini anda bisa langsung memasukkan tanggapan melalui ruang yang telah disediakan blogspot. namun jika Anda inginkan sebuah tulisan apresiatif, anda bisa mengirimkan melalui email saya, infobudiman@gmail.com. Saya akan memuatnya di blog ini.
salam hormat
Adnan Fais
dkk
Minggu, 27 Juli 2008
Budiman Sudjatmiko Caleg DPR-RI dari Jateng 8
27/07/2008 22:44 wib - Daerah Aktual
Budiman Sudjatmiko Caleg DPR PDI-P dari Jateng
Semarang, Suara Merdeka/CyberNews. Mantan aktifis politik Budiman Sudjatmiko diusulkan menjadi calon legislatif DPR RI dari PDI-P dengan daerah pemilihan Jateng. Ketua DPD PDI-P Jateng Murdoko menyatakan, ada 40 tokoh yang diusulkan DPC untuk caleg DPR RI, diantaranya Puan Maharani, Tjahjo Kumolo, Mangara Siahaan, Daniel Budi Setiawan, Daryanto dan Sony Keraf.
''Tim verifikasi DPD dan DPC PDI-P se-Jateng sekarang ini sedang melakukan verifikasi terhadap nama-nama yang akan diajukan partai sebagai caleg pada Pemilu 2009. Nama yang diajukan merupakan usulan struktur dari bawah,'' Murdoko SH, Minggu (27/7).
Untuk memastikan seseorang akan duduk sebagai caleg atau tersingkir, kata dia, akan dilakukan pembahasan dalam Rapimnas DPP PDI-P pada 1 Agustus mendatang di Kantor DPP PDIP, Lenteng Agung. Disamping 40 nama untuk DPR RI, ada 250 nama yang diusulkan pengurus cabang PDI-P se-Jateng sebagai caleg DPRD Jateng. Rencananya, 250 nama itu akan diciutkan menjadi 120 nama, yang nantinya akan didaftarkan ke KPU Jateng sebagai caleg PDI-P.
Menurut dia, proses pencalegkan melalui partainya sangat ketat. Hanya calon yang dinilai mampu memperjuangkan aspirasi rakyat akan dipilih. Ketua Bappilu DPD PDIP Jateng Suryo Sumpeno menambahkan, seleksi caleg di partainya dilaksanakan secara ketat, dengan harapan diperoleh wakil rakyat yang berkualitas.
Verifikasi
Tim verifikasi tingkat Jateng, jelas Murdoko, melakukan verifikasi terhadap bakal caleg untuk DPRD Jateng, sementara tim verifikasi DPC melakukan verifikasi untuk bakal caleg DPRD kabupaten/kota. Khusus bagi caleg DPR-RI yang melakukan verifikasi adalah tim verifikasi DPP.
"Pascarapimnas, nama-nama bakal caleg akan dikembalikan ke DPD Jateng untuk disusun nomor urut. Proses itu diperkirakan memakan waktu satu minggu. Setelah selesai, daftar nama itu akan langsung didaftarkan ke KPU,'' imbuh Ketua DPRD Jateng itu.
Tim verifikasi tingkat Jateng terdiri dari 9 orang, sebanyak lima orang berasal dari DPD PDI-P, yakni Nunik Sriyuningsih, Suryo Sumpeno, KH Wahyudi Masud, Alwin, dan Hendi Hendrar Prihadi, sedangkan empat orang berasal dari DPC PDI-P, diantaranya Eko (DPC Kota Semarang), Bondan Marutoni (DPC Kabupaten Semarang), Nolbi Momonga (DPC Salatiga) dan Gunawan (DPC Kendal).
(Widodo Prasetyo /CN05)
Minggu, 13 Juli 2008
Budiman Sudjatmiko tentang Baitul Muslimin
Budiman Sudjatmiko tentang Baitul Muslimin
Jawa Pos, Jumat, 02 Feb 2007,
Tak Ubah Prinsip PDI Perjuangan
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) sedang membentuk Baitul Muslimin Indonesia (BMI). Seperti apa wujudnya dan apakah itu hanya taktik tebar pesona untuk merangkul kalangan Islam dalam dunia politik? Berikut perbicangan Kajian Islam Utan Kayu (KIUK) dengan Budiman Sudjatmiko, salah seorang fungsionaris PDIP, Kamis (26/1) lalu.
Sejak kapan PDIP punya gagasan membentuk Baitul Muslimin Indonesia?
Ketika terawih bersama di Kebagusan, Ramadan kemarin, dengan beberapa tokoh Islam di kediaman Ibu Megawati Soekarnoputri. Di situ ada Pak Din Syamsuddin dari kalangan Islam (unsur Muhamadiyah) dan PDIP sendiri. Saat itulah, hadir gagasan sederhana: kita punya problem yang harus segera dipecahkan dalam hubungan antara kaum nasionalis dan Islam. Ini bukan fenomena akhir-akhir ini saja, tapi telah ada sejak awal abad ke-20. Itu yang telah ditunjukkan oleh Bung Karno.
Adakah contohnya di masa lalu?
Dalam artikelnya yang dimuat buku Di Bawah Bendera Revolusi, nasionalime, Islamisme, dan Marxisme sudah diangkatnya sebagai tiga komponen objektif pendukung proyek kebangsaan Indonesia. Saat itu Bung Karno masih berusia 25 tahun. Tapi, dalam perjalanan sejarah, kita tahu ada up and down atau pasang-surut hubungan.
Ketika masa reformasi, problem itu tampak belum sepenuhnya tuntas. Nah, dari situ muncul pemikiran, kenapa di alam keterbukaan ini tidak ada dialog antara dua entitas yang masih tersisa (nasionalis dan Islam) itu?
Almarhum Nurcholish Madjid sering menyebut tidak adanya benturan antara cita-cita Islam dan nasionalisme Indonesia. Bagaimana pandangan kaum nasionalis sekarang terhadap kaum Islamis?
Dalam realitas politik, apa yang disampaikan almarhum Cak Nur adalah pernyataan yang normatif. Dalam kenyataan politik, konflik, benturan, juga kerja sama pernah kita lewati bersama-sama.
Pertanyaannya bagaimana kaum nasionalis melihat kelompok Islamis? Saya tidak bisa mewakili semua kalangan nasionalis. Ini karena kita secara politik tidak bisa melihat nasionalis maupun kaum Islamis sebagai entitas yang tunggal. Dari segi politik, banyak pernik-perniknya. Wacana khilafah juga ada di kalangan Islamis.
Karena itu, sebenarnya kalau orang bicara tentang Islam Indonesia, mereka sedang bicara soal Islam modernis dan tradisionalis yang diwakili Muhamadiyah dan NU. Tapi, itu biasanya klasifikasi terhadap pemahaman atas doktrin keagamaan.
Dalam politik, yang penting dilihat bukan soal modernis atau tradisionalisnya, tapi apakah kelompok Islamis itu telah menjadi bagian dari proyek kebangsaan yang telah dibangun puluhan tahun ini atau tidak?
Ada yang dianggap tak ikut proyek kebangsaan?
Kita bisa juga bicara soal kelompok Islamis yang sebenarnya baru muncul belakangan dan dalam riwayatnya tak pernah terlibat dalam politik kebangsaan yang dibangun sejak zaman kolonialisme. Kami melihat, Muhamadiyah dan NU adalah dua organisasi Islam yang mewakili kelompok Islam kebangsaan.
Karena itu, kaum nasionalis melihat baik Muhamadiyah maupun NU adalah representasi kelompok Islam yang sudah terlibat dalam proyek kebangsaan kita.
Apakah karena itu PDIP mengundang pimpinan NU dan Muhammadiyah?
Ya. PDIP melakukan dialog dengan mereka ketika hendak membentuk Baitul Muslimin Indonesia dengan mengundang figur-figur seperti Pak Din Syamsuddin dan bersilaturahmi dengan KH Hasyim Muzadi. Itu bukan karena secara kuantitatif kelompok mereka besar, tapi karena secara ide mereka lebih dekat dengan gagasan kaum nasionalis.
Mereka adalah home-ground muslim, muslim yang tumbuh di tanah sendiri. Mereka tahu suka-duka menjadi bangsa Indonesia yang pernah terjajah, merdeka, dan pernah menjadi bagian dari bangsa yang direpresi kelompok otoritarian. Mereka mengalami apa yang juga dialami kaum nasionalis.
Sementara, akhir-akhir ini, kita melihat munculnya kecenderungan kaum Islamis yang di mata kaum nasionalis, gagasan mereka lebih kosmopolit. Bagi kita, gagasan mereka belum tentu bisa tune-in dengan proyek kebangsaan yang sudah dibangun dengan darah dan air mata ini.
Jangan-jangan mimpi-mimpi sosial mereka juga berbeda. Sementara itu, kita telah tahu mimpinya orang Muhamadiyah dan NU, sebagaimana mereka tahu mimpinya orang nasionalis.
Sementara, orang-orang yang coming from nowhere -katakanlah demikian- tetap membawa gagasan yang menurut kita bersifat kosmopolit, tidak mengakar. Pandangan kelompok terakhir ini banyak juga yang masuk ke institusi-institusi yang memproduksi pengetahuan, opini. Mereka secara masif memproduksi peraturan-peraturan, perundang-undangan, di legislatif maupun eksekutif tingkat lokal.
Artinya, di antara mereka dan PDIP, ada jarak?
Ya. Menurut kami, itu semua berada di luar mimpi-mimpi kebangsaan yang sudah dan sekarang masih kita bangun. Karena itu, posisi PDIP terhadap mereka sangat jelas. Di banyak kasus, seperti dalam perda syariat dan RUU APP, kita tolak itu. Saya bisa katakan belum pernah ada bukti PDIP menyetujui syariat Islam. Tidak tahu kalau partai nasionalis lainnya.
Karena itu, kita harus bertanya: agenda mereka apa? Kita perlu berdialog dengan kelompok Islamis-kebangsaan untuk pertama-tama mengikat mereka dalam cita-cita dan sejarah kebangsaan kita.
Apa ciri-ciri home-ground muslim yang Anda sebut tadi? Sebab, banyak yang mengatakan PDIP sebagai sayap nasionalis telah melakukan miskalkulasi dengan merangkul sayap Islamis.
Dengan pertanyaan tersebut, Anda kira-kira mau mengatakan PDIP sedang melakukan tebar pesona?! He-he. Ciri-ciri home-gruond muslim bagi kami: dalam berdakwah, mereka biasanya cukup sensitif dan peka terhadap aspek budaya dengan derajat berbeda-beda.
Mereka tidak risih menggunakan instrumen-instrumen kebudayaan dalam dakwah. Itu pertama. Kedua, meski cara pandang mereka universal, tapi dalam isu-isu ketatanegaraan, mereka secara eksplisit sepakat dengan Pancasila, NKRI, dan menerima kebhinekaan. Sekali lagi, dengan derajat yang berbeda-beda.
Ketiga, dalam politik, mereka cenderung hati-hati. Mereka cenderung tidak memasukkan gagasan agama secara langsung dalam dunia politik, tapi lebih mengutamakan values atau nilai-nilainya.
Keempat, meski mereka juga menjaga baik hubugan dengan kelompok radikal, tetapi dalam isu yang menyangkut itu, mereka cukup tegas. Sementara itu, kelompok yang kosmopolit lebih eksplisit mengutarakan dan memperjuangkan gagasan keagamaan mereka. Dalam gagasan ketatanegaraan, mereka lebih "berani melakukan terobosan" seperti mengusulkan gagasan Khilafah Islamiah.
Kalau konsisten dengan nasionalismenya, PDIP tak perlu merangkul-rangkul kelompok agama tertentu. Tanggapan Anda?
Di PDIP, tradisi nasionalismenya adalah nasionalisme kerakyatan, bukan nasionalisme an sich. Kita tahu, rakyat Indonesia punya ekspresi kebudayaan dan keagamaan yang beragam.
Kita juga sadar, PDIP adalah kelanjutan dari partai-partai yang berfusi pada 1973. Kita tahu, komposisi partai tesebut kebanyakan dari sayap nasionalis: PNI, kiri Murba, Partai Kristen Indonesia, dan Partai Katolik. Jadi, sejak awal, PDI sudah berangkulan dengan kelompok-kelompok agama.
Jadi, alangkah naif dan tidak fair jika PDIP tidak merangkul kelompok keagamaan yang mayoritas secara kuantitas dan tidak kurang peran mereka dalam politik kebangsaan. Salah urus dalam soal ini akan berbahaya.
Kalau sejak 1973 PDI sudah akrab dengan agama, mengapa PDIP kini tetap tercitra sebagai partai sekuler?
Pertama, karena kelompok agama yang difusikan ke PDI waktu itu adalah kelompok minoritas. Satu-satunya (ideologi) alternatif yang dapat menyelamatkan kalangan minoritas adalah sekularisme. Tapi, PDI tidak mungkin mendesakkan hukum gereja dalam perjuangannya.
Artinya, sekularisme adalah jaminan untuk hidup bersama tanpa meninggalkan values atau nilai-nilai keagamaan. Itu sudah terkandung dalam tubuh PDI. Fakta sejarah menunjukkan bahwa kaum nasionalis sudah berfusi dengan kaum Protestan dan Katolik.
Kini, mengapa PDIP tidak juga berinteraksi dengan kaum Islam? Jika tidak segera ada terobosan atau kompromi sejarah, kita khawatir kelompok-kelompok Islam kebangsaan merasa dicampakkan atau tidak diikutsertakan. Padahal, mereka juga merasa punya visi itu.
Kalau demikian, agama jangan mencampuri wilayah politik?
Ya. Saya sepakat dengan itu. Agama harus hati-hati untuk mencampuri wilayah politik. Tapi, kalau kita berbicara soal Baitul Muslimin, faktanya sederhana saja. Orang kadang-kadang tak bisa memisahkan kenyataan bahwa dia seorang yang beragama dengan aktivitasnya di dunia politik. Bias itu selalu ada.
Nah, bias yang ada itu adalah realitas yang harus ditangani secara bijak dan cerdas. PDIP ingin melakukan itu. Kaum nasionalis dengan ini ingin mengulurkan tangan; ayo, sama-sama kita jaga bangsa ini, kebhinekaan ini.
PDIP merasa terganggu juga dengan citra dirinya sebagai partai nasionalis-sekuler, ya?
Jangan diasumsikan PDIP itu partainya orang-orang agnostik atau ateis. Oke, keberagamaan orang-orang PDIP mungkin tak setaat orang Bulan Bintang atau PKS. Tapi, jelas orang-orang di PDIP beragama.
Hanya, selama ini kita berpolitik tanpa menggunakan jubah atau baju agama. Itu jelas. Sejak pembentukan PDI pada 1973, kita tak pernah bicara soal simbol-simbol agama tertentu di dalam partai.
Artinya, adanya Baitul Muslimin pun tidak akan membuat kita mengganti prinsip. Kita justru ingin memperkaya substansi nasionalisme dan demokrasi kita.(novriantoni)
Sabtu, 12 Juli 2008
Menggali jejak kebangkitan
Menggali Jejak Kebangkitan
May 27, 2008 ·
Bagaimanakah kita harus memaknai seratus tahun kebangkitan nasional? Rasa-rasanya, bagi kebanyakan orang saat ini, sebuah perayaan sebagai bentuk parade sukacita bukanlah pilihan. Tentu tak mungkin menabuh gendang dan menari di kala rakyat masih dibelenggu oleh ancaman kesulitan hidup yang semakin menyesakkan hari demi hari.
Mungkin sebuah perenungan akan lebih tepat. Perenungan untuk mencari di manakah hilangnya jejak-jejak kebangkitan akan lebih bermakna justru di tengah semakin sirnanya asa akibat perhelatan tekanan kehidupan karena tersanderanya republik.
Seratus tahun lalu, mahasiswa-mahasiswa sekolah kedokteran STOVIA menemukan momentum kebangkitan di tengah impitan penindasan kolonialisme. Kita pun kini mencoba mengikuti jejak mereka mencari momentum yang sama di tengah pengisapan neoliberalisme. Namun, di manakah kita harus mulai?
Kerja kolektif
Marilah kita mulai, seperti mereka dulu, dengan menumbuhkan kesadaran akan realitas ketertindasan dan ketertinggalan. Inilah saat ketika pilihan-pilihan tersandera akibat hilangnya peran negara sebagai badan publik, yang ironisnya dibentuk secara sadar untuk melindungi kepentingan masyarakat. Ungkapan “tiada pilihan yang tersisa selain memotong subsidi” adalah contoh nyata sirnanya tanggung jawab sosial negara sekaligus pengabaian atas alasan adanya negara.
Kesadaran akan ketertindasan dan ketertinggalan bukanlah perkara mudah. Seabad yang lalu, para aktivis pergerakan harus mengunjungi daerah demi daerah untuk menyadarkan rakyat akan ketertindasan mereka. Kesadaran itu terkubur di tengah tuntutan pragmatisme hidup dan janji-janji manis elite kolonial dengan kampanye politik etis. Kini kesadaran pun mungkin terbenam di antara tekanan untuk bertahan hidup dan politik tebar pesona yang meninabobokan rakyat.
Sejarah kita sendiri kerap menunjukkan bahwa di tengah situasi fatamorgana itu, mobilisasi gagasan dan mobilisasi sumber daya manusia menjadi penting. Mobilisasi melalui pengorganisasian politik massa-rakyat yang dapat membuat tiap individu yang sadar menjadi pelaku-pelaku perubahan. Mata mereka yang tertindas harus dibuka, sehingga mereka sadar bahwa perubahan tidak datang dari langit. Perubahan tidak datang dari seorang satria piningit. Perubahan datang dari tiap orang biasa yang sadar bahwa mereka harus berubah, melakukan perubahan, dan menjamin masa depan untuk kehidupan yang lebih baik untuk semua. Perubahan adalah buah kerja keras panjang yang tanpa kenal lelah dan tetap bekerja untuk mengakhiri suatu bangunan struktur yang membuat mereka tertindas/tertingga l.
Tidak hanya sampai di situ. Perubahan adalah juga kerja bersama, seperti seratus tahun lalu, bukan kesadaran dan kerja individu yang melahirkan kebangkitan nasional. Kolektivitas adalah apa yang membedakan pergerakan kemerdekaan sebelum dan sesudah 20 Mei 1908.
Perasaan ketertindasan/ ketertinggalan sebagai satu entitas bangsa menjadi faktor pembeda dari upaya-upaya perjuangan para pangeran, raja, dan ulama yang pernah mengangkat senjata melawan kolonialisme. Kesadaran kolektivitas para mahasiswa STOVIA-lah yang 20 tahun kemudian melahirkan tonggak sejarah baru dalam kongres pemuda yang melahirkan Sumpah Pemuda. Melalui sumpah itulah kebangkitan nasional melahirkan suatu entitas politik-kebangsaan baru, yaitu Indonesia.
Jejak kerja bersama itu yang mungkin harus kita cari saat ini di tengah politik liberalisme (di tengah kurangnya kadar kesadaran menjadi demokrat) yang membuat semangat kekelompokan berdominasi. Memang, hampir mustahil menghapuskan kepentingan pribadi dan kelompok ketika ia memang secara sah diharuskan berkontestasi. Namun, ketika ia menjadi panglima, tujuan bersama pun menjadi sisa-sisa.
Kebangkitan sebagai spirit
Kebangkitan itu sebagian besarnya adalah soal spirit. Spirit letaknya ada dalam imajinasi pikiran dan kegelisahan yang mengusik hati sanubari massa. Imajinasi yang sedemikian rupa sehingga menginspirasi orang secara massif. Barulah imajinasi massif itu mewujud dalam tindakan sosial.
Harapan pada suatu zaman kebangkitan yang mampu membebaskan bangsa dari kolonialisme adalah spirit yang menyebar hingga ke dalam bentuk gosip-gosip di kalangan masyarakat. Ia menjadi discourse sosial. Discourse yang meluas ke tingkat massa menyebabkan massa gelisah, bak api dalam sekam yang mencari jawaban atas hari ini dan hari depannya.
Discourse yang bergerak di tingkat masyarakat di era kolonial itu suatu kali memiliki momentum meletup tanpa terkendali, dikatalisasi oleh tekanan sosial dan ekonomi yang luar biasa serta berita kebangkitan negara Timur lainnya. Potensi letupan-letupan kecilnya dapat kita lihat dalam berbagai bentuk, mulai selebaran-selebaran di tingkat massa hingga bentrokan-bentrokan fisik dengan aparat kolonial. Perlawanan diam-diam dan terbuka ke bentuk yang paling konfliktual secara terbuka sesungguhnya hanyalah wajah permukaan. Ada yang jauh mengendap di dalam hati massa itu, yaitu kebangkitan kemerdekaan bangsa.
Pada masa itu, suasana spirit sosial itu sebenarnya hanya menunggu suatu keberanian untuk memimpin proses perubahannya. Hanya tinggal menunggu pemimpin yang punya keberanian memimpin perubahan untuk berangkat melalui imajinasi sosial rakyat. Dari sana lalu memuarakan letusan-letusan sosial itu menjadi sebuah tindakan yang, karena massif diikuti oleh massa rakyat yang gelisah terhadap perubahan menentang kolonialisme, bermetamorfosis menjadi gerakan sosial politik yang dahsyat pada masa-masa berikutnya. Itulah riwayat bagaimana bangsa ini akhirnya meraih kemerdekaan untuk dirinya.
Pertanyaannya, refleksi bagi kita kini adalah mampukah kita menangkap gejala-gejala spirit perubahan di tingkat rakyat itu, kini dan di sini? Kemudian mampukah kita menangkap imajinasi sosial dan mengkristalisasikan nya? Kristalisasi adalah bentuk olahan terhadap imajinasi sosial itu. Kemudian menyebarkannya ulang ke dalam suatu cita-cita yang bisa diterima dan dibenarkan oleh rakyat. Jika kita bisa menangkap imajinasi sosial rakyat itu, kini tugas kita menjadi lebih jelas: memimpin cita-cita perubahan rakyat dalam rangka kebangkitan nasional selanjutnya.
Spirit yang mencari pemimpin
Proses ini mungkin dapat disebut sebagai suatu discourse sosial. Suatu proses komunikasi teks tuturan rakyat, dengan segala model bentuknya, yang ditangkap oleh aktivis gerakan sosial, diolah, dan dinyatakan kembali kepada massa rakyat. Ini seperti peristiwa rekontekstualisasi yang kompleks. Melibatkan rakyat beserta teks sosialnya, diterima oleh aktivis sosial dan diberikan bentuk konteks baru, kemudian disampaikan dalam bentuk teks progresif yang menginspirasi khalayak rakyat secara massif. Tak bisa dibantah bahwa ini merupakan suatu proses discourse yang kompleks.
Namun, jika kita mampu dengan tepat memposisikan diri di arena komunikasi sosial itu, kita mampu bukan hanya menyelami imajinasi sosial rakyat, melainkan juga maju selangkah lagi dengan memimpin imajinasi rakyat ke dalam bentuk tindakan perubahan yang luar biasa. Syaratnya sederhana saja. Sebagaimana pada awal-awal kebangkitan, hampir semua pemimpin kebangkitan nasional hidup bersama rakyat, sangat dekat dengan kehidupan keseharian rakyat, sehingga bahasa rakyat hampir tak berjarak dengannya. Pesan sosial rakyat bisa diterima dengan sangat baik oleh mereka.
Pertanyaan reflektif kepada kita adalah sedekat mana jarak kedekatan komunikasi sehari-hari kita dengan rakyat. Sedekat apa kita bisa memahami pesan massa rakyat. Jadi, menurut saya, konteks kebangkitan baru ini hanya perlu disederhanakan saja, sebagai sebuah teks baru, sedangkan mekanisme prosesual pemberian maknanya hanya perlu direfleksikan dari pengertian pada proses yang sama pada awal kebangkitan pertama 1908.
Sejarah kembali mengetuk pintu rumah kita, hanya mereka yang berjiwa pemimpin akan punya cukup keberanian untuk membukakan pintunya: bersiap menerima kenyataan sejarah apa pun yang akan datang. Itulah yang dilakukan oleh dr Soetomo, dr Wahidin Soedirohoesodo, dan kawan-kawan pada 100 tahun yang lampau.
Budiman Sudjatmiko, Ketua Umum Relawan Perjuangan Demokrasi-PDI PerjuanganBudiman dalam Wikipedia
Budiman Sudjatmiko
From Wikipedia, the free encyclopedia
Budiman Sudjatmiko (born in Cilacap, Indonesia 10 March 1970) is an Indonesian activist and politician.
[edit] Biography
He is the son of Wartono (father) and Sri Sulastri (mother). When he was just a high school student, he began to create discussion forum on politics, which is an unpopular move during Soeharto dictatorial regime.[citation needed] He pursued Economics at Gadjah Mada University where he immersed himself with leftist student movements and started to organize peasants movements in Java. Inspired by revolutionary movement, he dropped out of college to focus in leftist movement, and became a chairman of People's Democratic Association (Perhimpunan Rakyat Demokratik). In July 1996, he founded the People's Democratic Party and led street demonstration in Jakarta.[citation needed]
Shortly after the party declaration, 27 July Riot took place. Sudjatmiko was accused as riot perpetrator by the Soeharto government, and then arrested in August 1996.[citation needed] He received 13 years jail sentence, but then was released in 10 December 1999 after Soeharto's downfall. He then continued as the chairman of the party until 2001.
In 2002, after resigning from his chairman position and leaving his party, he pursued Master degree in Department of Political Studies, School of Oriental and African Studies. He continued to pursue MPhil degree in University of Cambridge.
In December 2004, he joined Indonesian Democratic Party, which is one of the major party in Indonesia. On this movement, he commented:
Although there is still much which must be sorted out in terms of professionalism, ethics and morals, in the vision of struggle and other programs within the PDI-P, all of this is a challenge for the PDI-P to become the party of the little people.
Senin, 28 April 2008
Pemimpin Harus Berani Memutuskan Masalah
"Pada saat itu kami hanya merasa perlu ada orang yang sanggup mengatasi ketakutannya, berteriak untuk memastikan di mana posisinya, dan jika dimungkinkan ia memanjat pohon tinggi agar dapat melihat kawan-kawannya yang lain, yang sama-sama tersesat." Perumpamaan inilah yang dikatakan oleh Budiman Sudjatmiko, mantan Ketua Umum Partai Rakyat Demokratik (PRD), untuk menggambarkan perlawanannya terhadap rezim Orde Baru. Selain itu Budiman banyak bercerita kepada PSIK Universitas Paramadina, Deni Agusta dan Lukman Hakim, mengenai alasan-alasan terhadap pilihannya menjadi aktivis pro-demokrasi dan melawan rezim otoriter Orde Baru di kediamannya pada 10 April 2008 silam. Berikut pandangannya.
Di zaman Orde Baru Mas Budiman dikenal sebagai tokoh muda yang kritis. Kalau boleh tahu, apa yang melatarbelakangi sikap Mas Budiman itu?
Sebagai orang muda yang bergaul dengan banyak kalangan termasuk dengan masyarakat bawah, kalangan intelektual, aktivis (yang masih mahasiswa maupun yang sudah bukan mahasiswa lagi di kampus), dan kebetulan juga saya bisa mengakses banyak buku dan lainnya. Dengan banyaknya informasi itu, menyebabkan saya tahu betul persoalan di negeri ini, baik itu informasi melalui buku, literatur atau juga melalui diskusi dan juga dengan masyarakat bawah itu.
Informasi-informasi itu memberi saya bekal dan referensi untuk saya bersikap. Berbagai pengetahuan yang saya peroleh mengenai ekonomi, sosial, budaya dan politik akhirnya membentuk sikap politik saya saat itu. Kemudian persoalannya adalah bagaimana menuangkan pikiran-pikiran dan sikap-sikap politis itu melalui kegiatan yang tidak melulu akademis seperti diskusi dan segala macam. Saya merasa bahwa kita mesti belajar dari sejarah bangsa ini dan juga dari sejarah bangsa-bangsa lain: rasa-rasanya kita membutuhkan perubahan dengan memadukan antara sikap kritis secara ilmiah sekaligus sikap politik secara tegas. Dengan demikian timbullah sikap kritis itu. Selanjutnya sikap itu saya ikuti dengan maksud mengambil sikap oposisi terhadap bangsa ini.
Kira-kira program-program seperti apa yang dijalankan oleh Orde Baru pada saat itu yang patut mendapat kritik?
Pertama, yang saya lihat adalah soal kesenjangan ekonomi: soal kemiskinan rakyat, terutama bagi mereka yang punya dan yang tidak punya, karena kemiskinan dianggap (dalam definisi) pada saat itu adalah kultur, terjadi akibat mentalitas budaya malas. Saya rasa tidak ada kaitan soal kemiskinan dengan kemalasan. Pengalaman sehari-hari menunjukkan tesis itu tidak melulu korelatif dengan kenyataan di lapangan. Para petani tetap miskin, walau seharian bekerja di bawah terik matahari. Para buruh tetap mendapatkan upah yang minim, walau sedari pagi hingga petang berpeluh masam bekerja di dalam pabrik dan lain sebagainya.
Di lain pihak saya melihat kesenjangan antar kota dengan desa semakin luas. Ini juga sempat mengusik nurani saya. Saya memahami tidak ada kebebasan pers di masa Orde Baru. Kemudian partai politik juga tidak memiliki kebebasan untuk merumuskan program-program politiknya untuk membangun kesejahteraan yang lebih maju dan lebih adil. Lalu saya berpendapat, syaratnya adalah harus ada keterbukaan politik sehingga sistem politik yang otoriter yang menyumbat sekaligus menyisakan banyak orang di dalam keterpurukan itu harus dirubah.
Saya melihat pada awal itu sebagian besar pesimis keadaan bisa berubah. Gejala pesimisme itu terjadi di mana-mana mulai dari kalangan terdidik hingga masyarakat awam. Sebagian bahkan menganggapnya sebagai takdir. Menurut saya ini mungkin disebabkan oleh perasaan ketakutan yang memang disebar oleh rezim saat itu. Selain itu seolah kepesimisan itu cukup masuk akal, karena mesin pemerintah Orde baru saat itu mulai dari aparat birokrasi, intelejen, militer dan lainnya itu begitu memberikan legitimasi terhadap rezim mengenai pentingnya stabilitas atas nama pembangunan. Kalaulah menunggu perubahan, mestinya berasal dari dalam pemerintahan itu sendiri.
Dua kata, stabilitas dan pembangunan, seolah-olah (di saat itu) adalah dua hal yang tidak bisa diganggu gugat. Saya juga percaya pada stabilitas dan saya juga percaya pada pembangunan, tanpa ada stabilitas tidak ada pembangunan. Tapi persoalannya adalah apa yang mesti distabilkan? Pembangunan masyarakat harus dimapankan, tentu bukan pembangunan yang mengakibatkan kesenjangan sosial. Dalam beberapa hal saya memang melihat ada kesadaran dalam masyarakat mengenai sebuah harapan menuju perubahan.
Tapi kadang-kadang kebijakan orientasi pembangunan pemerintah yang seperti itu dilegitimasi juga oleh berbagai kalangan agamawan. Saya belajar dari sejarah bahwa keadaan, ketakutan, ketidakpedulian, pesimisme, kenaifan seperti melihat persoalan ini adalah sebuah tabu. Itu juga bukan problem khas pada zaman saya pada saat itu. Belanda tidak pernah membayangkan bahwa bangsa ini akan menjadi sebuah republik yang dulunya terdiri dari kerajaan-kerajaan dan merdeka menjadi sebuah satu nation-state.
Artinya persoalan ketakutan, pesimisme, kenaifan yang mendominasi segala macamnya itu pernah dialami oleh bangsa ini juga. Tapi bangsa ini berhasil melampauinya, sehingga berhasil menjadi bangsa yang merdeka. Saya tidak pernah menemukan bangsa yang sama, bangsa yang pernah menemukan momentum keberanian untuk melepaskan diri dari penindasan (penjajahan Belanda). Belanda yang telah ratusan tahun berhasil dikalahkan, sedangkan Orde Baru yang cuma puluhan tahun mengapa tidak sanggup? Jadi saya melihat ada optimisme di sini. Pasti ada sesuatu yang bisa dilakukan dan pasti ada orang-orang yang berani: orang-orang yang belum mengambil kesempatan.
Jadi menurut saya, kita harus berani untuk menemukan sejarah bangsa ini. Saya pikir, saat itu yang kritis juga ada, yang mahir juga bahkan sudah ada, persoalannya mereka hanya takut dan ragu. Dari pikiran dan asumsi mereka, apa mungkin bisa dirubah? Mereka tidak berani mengambil resiko terlau tinggi. Artinya bagaimana merubah ketakutan itu menjadi berani, karguan itu menjadi sebuah keyakinan. Saya belajar dari sejarah bahwa katakutan dan keraguan massal seperti itu epidemis dan hanya bisa diobati dengan menghadirkan beberapa figuran untuk menunjukkan bahwa itu tidak berbahaya dan tidak semenakutkan seperti yang dibayangkan.
Tapi kan setiap ada perlawanan terhadap rezim, gerakan itu pasti "digebuk", dipukul mundur?
Betul, bahkan ada yang mati, dibunuh, diculik dan lainnya. Seperti omongan yang mengatakan bahwa "Kamu bisa menipu semua orang untuk sementara waktu, kamu bisa menipu sebagian orang untuk selama-lamanya, tapi kamu tidak bisa menipu semua orang untuk selama-lamanya." Artinya, pengalaman orang beroposisi akan menemukan titik akumulasi perlawanannya. Jadi perlawanan pada generasi sebelum kita harus dilihat jangan ketika mereka dipukul, tapi lihat itu akan menjadi pemicu spirit bagi gerakan perlawanan di periode berikutnya.
Jangan dilihat ketika kita (gerakan oposisi) dihancurkan itu akan hilang begitu saja. Dia akan masuk ke dalam benak kita di tabungan kesadaran yang disimpan di alam bawah sadar masyarakat. Maka tabungan ini harus kita cari di mana brangkasnya, kodenya di mana. Artinya kita cari orang yang atau sesuatu yang bisa kita akumulasi sehingga apa yang kita lakukan pada momen-momen tertentu merupakan sebuah titik kombinasi dari momen-momen sebelumnya.
Kalau kita mengangap ini terpisah sama sekali, maka dia hanya sebuah penggalan periodik yang tidak bisa diubah. Sekalipun psikologi-sosial masyakat terus berkembang, selalu saja menyisakan ruang-ruang kesadaran yang menyimpan satu peristiwa atas peristiwa lainnya. Ruang-ruang ini selalu terkait satu dengan yang lainnya. Namun harus ada orang atau momentum yang merangkai peristiwa-peristiwa itu menjadi sebuah kesadaran kolektif perlawanan sosial terhadap rezim.
Saya kira di sinilah tugas saya dan orang seperti saya bagaimana membuat ruang-ruang privat ini saling berkomunikasi. Maka harus dibangun semacam koridor yang akan menghubungkan antarruang kesadaran itu. Saya menggambarkan kita pada saat itu seperti orang-orang yang tersesat di dalam kegelapan hutan, dan satu sama lain saling terpisah. Kondisinya begitu amat mencekam dan ketakutan. Dalam kondisi itu dibutuhkan seseorang yang sanggup mengatasi ketakutannya sendiri untuk berteriak atau memanjat pohon sekedar menghidupkan sebatang korek api untuk memberitahukan kepada yang lain di mana posisinya dan mengetahui posisi yang lainnya. Artinya harus ada juga yang mengingatkan bahwa mereka tidak sendirian.
Di masa Orde Baru stabilitas terjadi di segala bidang, termasuk ekonomi di mana harga-harga komoditas pokok stabil dan terkontrol, berbeda dengan kini. Ini menunjukkan adanya kepemimpinan yang solid, sama sekali berbeda dengan kondisi saat ini. Pendapat Anda?
Pertama saya tidak mengenal stabiltas, juga tidak mengenal pembangunan. Kita sepakat dengan stabilitas, tapi stabilitas dalam demokrasi, bukan anarki dalam demokrasi di satu sisi, juga bukan stabilitas dalam sistem otoriter yang dibungkus dalam kerangka demokrasi, seperti di masa Orde Baru. Kita tidak boleh jatuh ke dalam ekstrim stabilitas otoriterian maupun anarki demokrasi, tapi stabilitas demokrasi yang terkonsolidasi. Kita tidak boleh terus-terusan berada dalam periode transisi tapi harus masuk ke dalam konsolidasi demokrasi. Dalam konteks itu stabilitas demokrasi tercipta. Kita membicarakan tentang kemampuan yang kuat, artinya kita juga membicarakan tentang sistem yang kuat. Selanjutnya kita berbicara dalam konteks kelembagaan demokratisasi.
Demokrasi bagi saya adalah penguatan sistem dan kelembagaan, bukan sekedar otonomi individu seotonom-otonomnya. Kita bukannya kekurangan otonomi tapi kelembagaan kita begitu lemah sehingga ada individu-individu tertentu yang sangat otonom dan berkuasa, bahkan melampaui lembaga itu sendiri. Pengalaman Orde baru menunjukkan hal itu. Selama rezim Orde Baru berkuasa institusi kenegaraan tidak diperkuat. Yang muncul kemudian adalah kekuasaan individual Soeharto yang kekuasaannya melampaui sistem kepartaian, ketentaraan dan keamanan. Artinya bahwa institusi demokrasi itu harus dibangun untuk memberikan pijakan pada stabilitas demokrasi yang saya maksud itu.
Di masa Orde Baru otoriterianisme terpusat dalam rezim, namun kini sikap otoriterianisme juga mengidap berbagai level kebangsaan seperti di pemerintahan daerah, partai politik dan lain sebagainya. Tanggapan Anda?
Saya juga mengusulkan demokratisasi harus dimulai dari konteks kenegaraan. Sejarah mencatat bahwa selalu saja negara yang memulai praktek otoriterianisme, seperti di zaman Orde Lama dan Orde Baru. Oleh sebab itu agar institusi kenegaraan tidak kembali tergoda menggunakan cara-cara otoriter, maka institusi tersebut didesak untuk menerapkan prinsip-prinsip demokrasi.
Apakah itu akan membawa dampak pada terciptanya demokratisasi di masyarakat? Tidak. Seperti yang Anda katakan bahwa di partai politik mungkin ada otoriterianisme, pemerintahan daerah, kemudian di keluarga, lembaga-lembaga keagamaan, dan pendidikan. Artinya setelah diselesaikan bukan berarti proses tersebut berhenti. Di tingkat negara harus ada penguatan-penguatan lembaga demokrasi itu. Tapi setelah itu diikuti dengan reformasi di tingkat kepartaian, reformasi di tingkat birokrasi, reformasi di tingkat ekonomi yang mengatur kepemilikan modal dan lain sebagainya.
Setelah sepuluh tahun perjalanan reformasi menurut catatan mas Budiman, hal apa yang telah dicapai dan belum berhasil diwujudkan?
Pertama, kita telah berhasil mewujudkan kebebasan pers dan berorganisasi. Itu capaian yang paling penting. Tapi dalam konteks kebebasan itu, sering kali kelangsungan demokratisasi kita terancam. Sebut saja kemunculan kelompok-kelompok radikal dan fundamentalis, misalnya, yang memaksakan pendapat atau kehendaknya kepada publik dengan memanfaatkan kondisi kebebasan ini. Para penumpang "gelap" ini memanfaatkan momentum demokrasi untuk membangun agenda-agenda kepentingan yang sama sekali tidak demokratis.
Kedua, dari sisi pendidikan dan sosial-ekonomi, mungkin ada beberapa capaian yang sudah berhasil ditorehkan. Tapi ada beberapa prinsip yang masih terus diperjuangkan, dalam bidang pendidikan yaitu untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan sosial-ekonomi yaitu menuju kesejahteraan sosial.
Apa yang membedakan kepemimpinan di masa lalu dengan kini?
Garisnya dulu adalah antara otoriter dan demokrasi itu begitu tegas. Tapi ketika kran demokratisasi dibuka, berbagai kalangan bisa bergabung mulai dari maling, bandit, pahlawan, orang suci, orang kotor punya hak yang sama, kira-kira seperti itu. Saya kira orang yang pernah bergulat dengan demokrasi atau orang yang pernah membela demokrasi mestinya lebih punya kesempatan. Artinya, menurut saya yang harus dilakukan dalam struktural adalah bagaimana membuat sebanyak mungkin orang yang memiliki visi bagus pada negara ini dan pada demokrasi bergabung dalam institusi-institusi demokrasi.
Berarti Mas Budiman dalam konteks ini ingin mengatakan bahwa strategi untuk perubahan harus masuk ke dalam?
Pastinya sekarang sudah berubah secara fundamental, dulu otoriter dan sekarang liberal.
Seperti yang Anda katakan bahwa saat ini kita sudah masuk ke dalam iklim demokrasi. Tapi demokrasi belum memberi implikasi pada keejahteraan sosial. Apa yang salah dengan demokrasi kita?
Biasanya demokrasi itu membawa dampak pada kesejahteraan publik. Seandainya tidak terjadi proses demokratisasi di tahun 1998, yaitu Orde Baru bersikeras mempertahankan kekuasaannya, harga-harga sudah lebih dahulu naik, sejak tahun 1997, sejak zaman Soeharto. Kalau harga-harga itu naik kan tidak bisa disalahkan pada demokrasi. Apakah kita bisa mengatakan bahwa pasti harga tidak akan senaik seperti sekarang ini? Atau kita bisa mengatakan bahwa harga tidak naik pasti tidak akan ada kejahatan.
Coba kita bayangkan kalau Soeharto tetap memaksa bertahan. Dengan situasi seperti ini bukan hanya harga yang naik. Menurut saya bangsa ini akan hilang akibat konflik yang dipicu oleh cara rezim mempertahankan kekuasaannya, dan juga cara bagaimana rezim mempertahankan tekanan internasional.
Contohnya anda mempunyai penyakit kanker. Kanker itu sudah mencapai stadium 3. Ketika kanker itu berada dalam stadium 1, harusnya kita sudah mendeteksi sejak awal. Tapi karena sudah terlambat, akhirnya kita ganti dokter. Apakah bisa dikatakan karena dokter baru itulah kanker kita berubah menjadi stadium 3? Cara berpikir kebanyakan dari kita dan juga media massa adalah seolah-olah karena demokrasi maka tercipta kemiskinan dan harga-harga semua naik. Padahal kan kenaikan harga (inflasi) itu sudah terjadi di tahun 1997-1998, di masa Orde Baru.
Dalam proses pergantian rezim itu sesungguhnya ada harapan akan terbitnya fajar kesejahteraan. Akan tetapi problem-problem kemasyarakatan itu tak kunjung berubah, sekalipun rezim sudah berkali-kali berubah. Komentar Anda?
Itu fakta yang kita hadapi kini. Orang yang ikut dengan Soeharto belum tentu demokrat. Orang yang menentang Soeharto pun belum tentu mempunyai idealisme kebangsaan yang melebihi Soeharto. Persoalannya adalah bahwa kekuasaan Soeharto ini membawa banyak korban. Dan para korbannya itu belum tentu datang dari kalangan aktivis pro-demokrasi, bisa jadi mereka yang punya pandangan totaliterianisme ikut menjadi korban kekuasaan Suharto. Bisa dimengerti, karena Pak Harto tidak menghendaki ada figur lain yang bersinar di luar dirinya.
Tapi ketika Soeharto jatuh, semua orang merasa menjadi pahlawan. Padahal di antaranya adalah mereka adalah pelaku penumpasan ekspresi kebebabasan berekspresi dan menikmati hasil korupsi rezim tersebut. Sekarang ini sesungguhnya adalah ujian terhadap orang-orang yang mengaku berjasa atas tumbangnya rezim Soeharto itu. Kita lihat bagaimana mereka memimpin negeri ini, apakah lebih baik atau sebaliknya dari rezim sebelumnya.
Sesungguhnya masih banyak agenda reformasi yang mesti dilakukan. Ketika Orde Baru tumbang, yang lengser hanya Soeharto. Tapi komponen-komponen rezim itu tidak ikut lengser. Mereka tetap berkuasa di birokrasi, militer dan pengadilan. Karena itu kita harus sanggup menciptakan alternatif-alternatif untuk menggantikan mesin kekuasaan masa lalu yang hingga kini masih bercokol di masa reformasi. Inilah yang kita maksud sebagai proses reformasi.
Dalam pengertian itu, saya hendak katakan, bahwa kita tidak boleh berhenti berjuang melawan Orde Baru. Salah satu cara adalah dengan terus memproduksi kata-kata dan makna-makna baru sebagai antitesis dari slogan-slogan yang pernah dibangun oleh Orde Baru. Proses kreatif memproduksi kata-kata dalam konteks reformasi itu menjadi penting bagi pendasaran kita untuk menegaskan demarkasi masa lalu dan kini. Salah satu contoh, hari ini terus terang banyak sekali orang yang berbicara mengenai revolusi ketimbang dulu. Tapi saya tidak melihat kedalaman maknanya seperti kata-kata reformasi atau perubahan yang dulu pernah kami ucapkan di masa lalu. Mestinya kata revolusi memiliki makna tentang perubahan yang radikal dan menyeluruh. Dan mestinya pula, kata itu mendapatkan momentumnya kini, karena kita membutuhkan perubahan. Tapi kita lihat, kata-kata itu bersuara riuh, namun maknanya demikian hening. Saya ingin katakan, bahwa sebuah kata mendapatkan ruh di masing-masing masanya. Inilah yang membuat kita tidak boleh berhenti membangun makna-makna tentang perubahan.
Bagaimana sikap kita sebagai anak bangsa dalam menjaga kedaulatan secara politik dan mandiri secara ekonomi dan bertingkah dalam konteks budaya Indonesia di tengah arus globalisasi dan kepentingan asing atas Indonesia?
Pertama-tama kita bahas tentang ekonominya dulu. Untuk merombak kondisi perekonomian ini kita juga harus merombak mentalitas keberanian pemimpin kita. Yang saya maksud adalah keberanian untuk memutuskan masalah.
Anda melihat ada ketidakberanian yang diidap oleh para pemimpin kita? Tapi kan orang-orang yang berani tidak banyak yang memilih?
Menurut saya, orang-orang yang berani itu tidak cukup memiliki kesabaran membangun institusi. Berani tanpa tanpa kesabaran membangun institusi itu artinya dia nekat. Saya mencoba menghimbau kepada orang-orang yang sudah mempunyai institusi, entah itu di MPR, DPR, Presiden bahwa kekuasaan itu kan sudah di tangan mereka. Saya hendak mengatakan gunakanlah kekuasaan itu dengan keberanian membangun kesejahteraan masyarakat. Tapi yang berani kadang-kadang juga tidak sabar membangun institusi. Akibatnya mereka terpental dari institusi tersebut. Apa pula artinya simbol-simbol kepahlawanan yang disematkan kepada kita karena sebuah keberanian yang dalam pengertian tertentu lebih dekat maknanya dengan nekat.
Pada era Orde Lama, Soekarno menjadikan politik sebagai panglima, kemudian di era Orde Baru ekonomi dijadikan panglima. Untuk hari ini kita mempunyai gambaran yang tidak jelas kira-kira strateginya seperti apa?
Saya melihat hari ini kok realitas yang dominan adalah membangun citra politik: politik keseakan-akanan. Itu saya kira yang kini menjadi panglima. Imagenya baik dan bagus, tapi seperti rumah besar yang bahan bakunya terbuat dari kertas, sangat rapuh. Kepemimpinan kita hari ini begitu artifisial, tidak substanstik. Mereka hanya peka terhadap indera penglihatan dan pendengaran orang. Saya pergi ke daerah misalnya, para aktivis parpol, gubernur, bupati dan walikota hanya sibuk memikirkan image dirinya dan partainya. Pada akhirnya mereka lupa untuk mengurus hal-hal publik yang jika diurus dengan baik bisa membuatnya menjadi tidak populer. Selain itu partai juga terjebak pada politik elektoral mulai dari pemilu, pilpres, pilkada gubernur, bupati, walikota, bahkan sampai kepada daerah. Saya kemudian membayangkan, bagaimana partai-partai itu akan concern terhadap isu-isu kerakyatan, jika dirinya terlalu sibuk mengurus hal-hal demikian.
Jadi menurut saya perlu ada sebuah kualifikasi yang bisa diterima di seluruh kalangan anak muda. Saya percaya bahwa sejarah itu adil. Dan saya percaya dalam setiap generasi akan lahir anak-anak muda yang begitu gigih memperjuangkan rakyat.
Mas Budiman pernah menjadi Ketua Umum Partai Rakyat Demokratik (PRD). Partai itu berisikan anak-anak muda yang kritis, dan militan di dalam memperjuangkan partai politik. Bisa diceritakan kepada kami pengalaman Anda itu selama memimpin partai itu?
Kita membuat PRD tahun 1994 yang kita siapkan untuk menghadapi kemungkinan kalau-kalau Orde Baru akan berkuasa sekitar 20 tahun lagi. Artinya kita mendoktrin diri untuk berjuang pada kurun waktu yang panjang. Tapi Orde Baru jatuh lebih cepat dari yang kita bayangkan. Sementara itu kita tidak mempersiapkan PRD untuk bertarung dalam konteks politik elektoral dalam jangka pendek. Inilah yang menyebabkan kita tidak berhasil dalam merengkuh kekuasaan politik.
Setelah rezim Suharto lengser, memang kita mengalami kegamangan. Kita dulu hanya menyiapkan sebuah pertarungan dengan Orde Baru dalam jangka yang lama. Seandainya Orde Baru berkuasa seperti yang kita bayangkan sebelumnya, mungkin PRD akan menjadi partai besar, yang berisikan anak-anak muda progresif yang melulu melakukan perlawanan untuk perubahan.
Mas Budiman dan PRD dituduh sebagai dalang peristiwa 27 Juli 1996 dan akhirnya bermuara pada penjeblosan mas Budiman ke penjara. Sebenarnya peristiwa itu bagaimana sih?
Peristiwanya sederhana saja, pada waktu pendirian PRD itu kita memang banyak berhubungan dengan orang PDI. Pada waktu Bu Mega terpilih sebagai Ketua Umum PDI di tahun 1993, kita merasa bahwa waktu itu Orde Baru tidak menginginkan Bu Mega menjadi ketua Umum. Pada akhirnya dibuatlah rekayasa politik yang kembali mendudukkan Suryadi sebagai Ketua Umum PDI. Pada konteks Orde Baru seluruh kekuatan politik seluruhnya diatur menurut selera rezim. Namun dengan terpilihnya Megawati sebagai Ketua Umum PDI sesungguhnya menegaskan adanya keretakan konsolidasi politik Orde Baru.
Setelah kita melihat keretakan itu, kita muncul ke permukaan, membangun kekuatan, mengonsolidasikan perlawanan dan lain sebagainya. Dalam konteks itulah mengapa kami sering berhubungan dengan orang PDI terutama di daerah-daerah. Kira-kira kesepakatan kita dengan orang-orang PDI adalah, kalian tetap di PDI dengan terus merapatkan barisan mendukung Megawati dan melawan rezim Suharto. Bahkan di tahun 1994 PRD mendorong Bu Mega menjadi presiden. Ketika Bu Mega digulingkan, kami membangun perlawanan terhadap rezim.
Sejauh mana mas Budiman mengenal pikiran-pikiran Cak Nur? Dan apa kesan Mas Budiman terhadap Cak Nur?
Cak Nur saya kenal langsung pertama kali pada saat saya dan teman-teman berinisiatif mendirikan Komisi Independen Pemantau Pemilu (KIPP) di tahun 1995. Kita meminta Cak Nur untuk menjadi ketuanya. Waktu itu saya dan teman-teman yang muda juga mengajak Gunawan Muhammad dan beliau mengajukan Cak Nur untuk memimpin lembaga itu. Buat kami kehadiran Cak Nur begitu signfikan bagi KIPP. Bagaimanapun kami berharap dari kearifan intelektual Cak Nur dan jaminan dari kelompok Islam.
Bagi saya, keberadaan Cak Nur sebagai tokoh Islam yang modernis menunjukkan bahwa sebenarnya Cak Nur sedang menyelamatkan wajah politik umat Islam dari keterjebakan kemungkinan diasosiasikan sebagai pembela Orde Baru di hari terakhirnya. Sendainya tidak ada Cak Nur, Gus Dur, dan Amien Rais, bisa jadi ekspresi politik umat Islam akan diasosiasikan sebagai pembela Orde Baru, khususnya ketika Pak Harto sudah mulai bergandengan dengan umat Islam, dengan merestui pendirian ICMI .
Tapi sebelumnya kan Orde Baru sangat memusuhi kelompok politik Islam?
Betul, khususnya pada tahun 70-80an. Tapi kemudian tahun 1990an mulai merangkul. Tapi untung saja ada Gus Dur, Amin Rais, dan Cak Nur. Tiga orang inilah yang menarik umat Islam keluar dari ekspresi politik umat Islam yang seperti tadi saya sebutkan. Masuknya Cak Nur ke dalam keluarga besar KIPP, pada satu sisi agar pembentukan KIPP ini tidak dimusuhi oleh sebagian kelompok politik umat Islam yang sudah dekat dengan Orde Baru.