PDI Perjuangan Koordinator Wilayah Negeri Belanda. -
Sabtu, 29 Desember 2007
Kaum Muda Harus Realistis
Rabu, 12 Desember 2007
Eks Napol Boleh Jadi Presiden
Budiman Sudjatmiko: Eks Napol Boleh Jadi Presiden |
Jakarta - Keputusan MK menolak gugatan terhadap 4 UU yang dianggap diskriminatif bagi mantan napi harus dibaca secara seksama. Ada pengecualian bagi mantan napi politik dan napi tindak pidana karena kealpaan ringan.
Hal ini diungkapkan salah satu penggugat yang juga mantan napol Budiman Sudjatmiko dalam perbincangan dengan detikcom, Rabu (12/12/2007).
Budiman mengatakan, dalam penjelasan putusan MK yang diterimanya, ketentuan itu tidak berlaku bagi tindakan kealpaan ringan (misal menabrak orang) atau kejahatan politik, walaupun masa hukuman lebih dari 5 tahun.
"Yang di maksud kejahatan politik oleh MK adalah mengacu pada perbuatan yang sesungguhnya merupakan ekspresi pandangan atau sikap politik yang dijamin dalam sebuah negara hukum yang demokratis. Namun oleh hukum positif pada saat itu dirumuskan sebagai tindak pidana semata-mata karena berbeda pandangan politik yang dianut oleh rezim yang sedang berkuasa," papar Budiman panjang lebar.
Penjelasan itu dikutip mantan Ketua PRD ini dari putusan No 14-17/PUU-V/2007 yang dikeluarkan MK.
Sebagai solusi, MK menyarankan kepada para penggugat agar menyelesaikan masalah ini lewat lembaga legislatif.
"MK meminta adanya legislatif review atau revisi UU tersebut. Tapi kalaupun tidak ada, para napol bisa mengacu pada penjelasan dalam putusan ini," imbuh Budiman.
Dia kembali menegaskan, berdasarkan keputusan MK tersebut, ketentuan dalam UU 23/2003 tentang Pilpres, UU 24/2003 tentang MA, UU 32/2004 tentang Pemda dan UU 15/2006 tentang BPK yang gugatannya ditolak oleh MK tidak berlaku bagi eks napol.
Sumber : www.detik.com
Minggu, 19 Agustus 2007
Antara Proklamasi dan Deklarasi
Teks proklamasi kemerdekaan sudah dibacakan 62 tahun lalu oleh Bung Karno dan Bung Hatta atas nama bangsa Indonesia. "Tidak ada yang luar biasa" pada peristiwa 17 Agustus 1945 itu, kecuali telah dinyatakan kepada seluruh rakyat Indonesia dan dunia bahwa kita telah merdeka. Dengan merdeka, terjadi pengambilalihan kekuasaan. Ia tidak ditunjukkan dengan kejadian luar biasa, misalnya, ada upacara sertijab (serah terima jabatan) yang dramatis dari penguasa Jepang yang kalah dari sekutu kepada Soekarno-Hatta di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta. |
Kehendak merdeka
Namun, sesederhana apa pun peristiwa proklamasi itu, inilah yang oleh Jl Austin, filsuf bahasa dari Inggris, dalam buku How to Do Things with Words, disebut act of speech. Ini sama seperti mengucapkan "terima kasih". Tak ada tindakan apa pun untuk menunjukkan bahwa seseorang berterima kasih, kecuali mengucapkan kata "terima kasih" itu sendiri.
Demikian juga dengan teks proklamasi. Bahwa suatu bangsa menyatakan merdeka dan mengambil alih kekuasaan, tak ada tindakan lain selain mengeluarkan pernyataan itu sendiri, maka merdekalah bangsa itu.
Sebagai act of speech, membacakan teks proklamasi yang singkat, merupakan tindakan sederhana meski sarat makna dan sakral sehingga (kecuali para separatis) nyaris tak ada pemimpin di Indonesia yang berpikir untuk mengkhianati apa yang eksplisit terkandung dari teks proklamasi itu. Ia terlalu sederhana namun sakral. Semacam credo atau syahadat sebuah bangsa.
Namun, kini orang cenderung lupa, sebagai bangsa sebenarnya kita memiliki dokumen lain yang terkait "kehendak merdeka", selain proklamasi kemerdekaan. Inilah deklarasi yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 yang oleh Bung Karno dikatakan telah "memberikan pedoman-pedoman tertentu untuk mengisi kemerdekaan nasional kita, untuk melaksanakan kenegaraan kita, untuk mengetahui tujuan dalam perkembangan kebangsaan kita, untuk setia kepada suara batin yang hidup dalam kalbu rakyat kita" (Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi Jilid II).
Namun, dalam perjalanannya, berbeda nasib antara teks proklamasi dan isi teks deklarasi. Tidak seperti terhadap proklamasi, banyak pemimpin kita (politik, ekonomi, budaya, dan sebagainya) kerap mengkhianati deklarasi kemerdekaan yang menjadi "suara batin yang hidup dalam kalbu rakyat kita" itu.
Banyak dari mereka setelah terpilih sebagai pemimpin rupanya lebih sering gagal "untuk membentuk suatu pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia serta untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial" (Alinea IV Pembukaan UUD 1945).
Deklarasi yang Ideologis
Berbeda dengan teks deklarasi kemerdekaan Amerika Serikat yang jelas mengatakan tak ada sesuatu pun yang berhak merebut hak setiap orang untuk mengejar kebahagiaan pribadinya, maka teks deklarasi kemerdekaan Indonesia bertitik tekan untuk "memajukan kesejahteraan umum". Sebagai sebuah teks, deklarasi kemerdekaan, kita menegaskan watak ideogis yang komunitarian demokratik, bukannya individualisme demokratik.
Dalam sebuah kajian yang dibuat Harvard Business School, disebutkan, apa pun namanya, di dunia ini ada dua tipe ideologi, yaitu individualisme dan komunitarianisme. Jika individualisme lebih menekankan pada persamaan kesempatan, berbasis kontrak, hak-hak milik, daya saing untuk memuaskan kebutuhan konsumen (yakni sebagian dari masyarakat yang punya daya beli), dan peran minim dari negara, maka komunitarianisme demokratik lebih menekankan persamaan hasil (yang diharapkan kesejahteraan umum bisa maju dan kecerdasan bangsa bisa diraih), hak dan kewajiban anggota komunitas, memuaskan kebutuhan seluruh komunitas (terlepas punya daya beli atau tidak), peran aktif negara, serta bersifat holistik atau saling tergantung antarmanusia, dan manusia dengan alam.
Dari tugas pemerintahan yang hendak didirikan oleh sebuah Indonesia yang merdeka, pesan ideologis yang terkandung adalah Pancasila merupakan bagian dari tipe ideologi yang komunitarian demokratik yang menekankan peran aktif negara untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Studi dari Harvard itu juga menunjukkan, dalam kajian terhadap sembilan negara, justru negara-negara yang tradisi komunitarianisme demokratiknya paling tinggi, yaitu Jepang, Korea, Taiwan, dan Jerman, adalah negara yang paling kompetitif dalam mengatasi ketertinggalannya dalam pembangunan ekonomi dan karakter bangsanya pada era seusai Perang Dunia II.
Karena itu, perlu kiranya kita menggunakan momentum refleksi kemerdekaan ini untuk sungguh-sungguh berpikir dan berbuat berdasarkan pikiran yang sehat. Pikiran dan perbuatan yang sehat seyogianya memaknai kemerdekaan sebagai sebuah tindakan dan kehendak (atau tekad) sekaligus untuk semakin pantas kita mengklaim diri merdeka. Dalam hal ini adalah memerdekakan sebuah komunitas bangsa yang dicirikan oleh kecerdasan dan kesejahteraan umumnya yang meningkat, yang segenap dirinya dilindungi secara sengaja oleh pemerintahnya dalam sebuah negara yang sudah dimerdekakan melalui proklamasi. Inilah fungsi dan guna dari sebuah deklarasi kemerdekaan.
Perkara logika
Menurut hemat penulis, kehendak untuk mewujudkan kemerdekaan komunitas bangsa sebagai amanat deklarasi kemerdekaan bukanlah perkara etika, melainkan perkara logika.
Karena berbeda dengan apa yang dilakukan pemerintah asing yang menjajah kita yang bermaksud "mencerdaskan" dan "menyejahterakan" bangsa jajahan melalui "politik balas budi/politik etis", Pemerintah Indonesia tidak diminta berbuat etis atau membalas budi rakyatnya sendiri saat melindungi dan memajukan kesejahteraan umum mereka.
Ini adalah urusan yang logis sekaligus ideologis dari sebuah pemerintahan yang masih mau disebut sebagai pemerintah negara Indonesia. Karena ia sudah tertulis dalam bacaan pendahuluan kitabnya bangsa Indonesia merdeka, yakni Pembukaan UUD 1945 atau Deklarasi Kemerdekaan Indonesia.
Leaders, you were elected not only to lead but also to read. Dirgahayu Indonesia.
Budiman Sudjatmiko: Direktur Eksekutif ResPublica Institute; dan Departemen Pemuda dan Mahasiswa DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
Jumat, 30 Maret 2007
Mentalitas dan Ideologi Soeharto Masih Berkuasa
Budiman S.: Mentalitas dan Ideologi Soeharto Masih Berkuasa
Bojonegoro (ANTARA)- Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Nasional Relawan Perjuangan Demokrasi (REPDEM), Budiman Sudjatmiko, menegaskan bahwa kingga kini mentalitas dan ideologi Soeharto, Presiden RI periode 1966-1998, masih berkuasa.
"Ini bisa dibuktikan dengan kudeta yang dilakukan kepada Soekarno, masih dianggap konstitusional," katanya, saat kesempatan melantik Dewan Pimpinan Cabang (DPC) REPDEM Bojonegoro, Jawa Timur, dan dialog publik bertema "Super Semar, Kudeta terhadap Soekarno" di Kantor DPC Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Minggu.
Indikasi lainnya, menurut dia, sampai sekarang Soekarno masih dianggap bersalah, sedangkan Soeharto tidak.
Ia mengemukakan, menyusul berkuasanya Soeharto, terjadi proses intimidasi, mulai mereka yang menjadi anggota Partai Nasional Indonesia (PNI) dikejar-kejar, menyimpan gambar dan bukunya Soekarno ditangkap hingga mereka yang dianggap anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) hidupnya dipersulit.
Budiman berpendapat, ada kekuatan dalam dan luar negeri yang menjatuhkan pemerintahan Soekarno. Pada waktu itu, Presiden Soekarno dikudeta secara inkonstitusional.
Berdasarkan informasi yang dia terima, Surat Perintah Sebelas Maret (Super Semar) yang asli sekarang ini tersimpan di Departemen Pertahanan Amerika Serikat atau dikenal dengan sebutan Pentagon.
"Seharusnya kalau memang makar, Super Semar tidak harus diabadikan menjadi Universitas Sebelas Maret, karena melanggar konstitusi," ujarnya.
Kepada pengurus REPDEM Bojonegoro, Budiman Sudjatmiko meminta mereka untuk turut berjuang memenangkan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Bojonegoro, Pemilihan Gubernur (Pilgub) di Jatim, hingga Pemilu Legislatif dan Pemilihan Presiden (Pilpres).
"Kader-kader REPDEM harus tidak korup dan layak tampil sebagai pejuang demokrasi," katanya
Di Indonesia, REPDEM Bojonegoro merupakan ke-43 yang sudah terbentuk, sedangkan di tingkat Provinsi sudah terbentuk pada 13 daerah.
Sumber http://www.indonesiamedia.com/2007/03/mid/opini/Pelajaran.htm
Sabtu, 24 Maret 2007
Ceramah di IRM
Partisipasi Pelajar Untuk Politik Harus Lebih Dari Biasa | | | |
Arif Nur Kholis | |
Sabtu, 24 Maret 2007 | |
Sleman- Partisipasi politik pelajar bisa saja seperti biasa, berpartisipasi dengan mengikuti pemilu, memilih partai yang se-ide. Tetapi IRM ingin partisipasi politik pelajar tidak sesederhana itu, ingin partisipasi politik sampai mendapatkan pemimpin yang transformatif. Demikian pendapat Budiman Sujatmiko dalam stadium general , Rakernas IRM, sabtu (24/03/2007) di gedung Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP), Kalasan, Sleman. Menurut Budiman kepemimpan di era reformasi , terlepas kekurangan mereka, merupakan pemimpin yang sudah reformis. Paling tidak mereka sudah menggunakan cara-cara reformis, dibanding cara cara rezim orde baru sebelum mereka. Namun pemimpin yang reformis belum tentu menjadi pemimpin yang transformatif. Menurut Budiman kepemimpan di era reformasi , terlepas kekurangan mereka, merupakan pemimpin yang sudah reformis. Paling tidak mereka sudah menggunakan cara-cara reformis, dibanding cara cara rezim orde baru sebelum mereka. Namun pemimpin yang reformis belum tentu menjadi pemimpin yang transformatif. Politisi muda dari PDI Perjuangan ini mendefinisikan pemimpin transformatif adalah pemimpin yang secara politik, kultural, spirit dan gaya bisa memberi inspirasi rakyat untuk melakukan sesuatu, dengan tingkat kepercayaan tinggi dari rakyatnya .”Juga pemimpin yang tingkat kepercayaan terhadap rakyatnya tinggi” imbuh Budiman. “Bagi saya pemimpin transformatif adalah pemimpin yang amanah, aspiratif dan berani mengambil arah” Budiman yang sempat aktif di IPM SMA Muhammadiyah I Yogyakarta ini, menceritakan, bahwa bentuk partisipasi pelajar bisa dimulai dengan belajar membangun kantong kantong pemikiran alternatif. “Kami berfikir anak anak muda haruslah nakal, dikala saya aktif IPM, saya dengan beberapa teman menciptakan kantong kantong pemikiran yang dikala itu bisa dikatakan subversif,”ungkapnya. (arif) |